TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Pusat tampak semakin serius dengan rencana pemindahan Ibu Kota. Dalam pidato kenegaraan HUT RI ke-74 di Gedung Nusantara, Kompleks DPR-MPR, pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo atau Jokowi secara resmi meminta izin kepada anggota dewan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan.
"Pada kesempatan yang bersejarah ini. Dengan memohon ridho Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari Bapak Ibu Anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan," kata Jokowi.
Wacana pemindahan pusat pemerintahan sejatinya bukan hal baru. Presiden Soekarno pernah berencana memindahkan pusat pemerintahan ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Namun, ide ini tak kunjung terealisasi hingga masa jabatannya selesai. Begitu pula di masa Presiden Soeharto. Ide memindahkan pusat pemerintahan muncul pada periode 1990-an dengan target yaitu Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Namun lagi-lagi hanya sebatas wacana.
Belakangan, di periode pemerintahan Presiden Jokowi, wacana tersebut setidaknya sedikit lebih maju lantaran Istana telah dua kali menggelar rapat terbatas. Puncaknya pada rapat terbatas 29 April 2019, Jokowi memutuskan ibu kota pindah ke luar Pulau Jawa, yakni ke Kalimantan.
Koordinator Desk Politik Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Khalisah Khalid, meminta pemerintah jangan sepihak memutuskan pusat pemerintahan pindah ke Kalimantan. Pemerintah harus bertanya dulu terkait kesediaan masyarakat daerah tujuan terlebih pemindahan ibu kota ini berpotensi menimbulkan krisis lingkungan.
"FPIC (Free, Prior and Informed Consent) menjadi penting dilakukan, di mana rakyat di Kalimantan lah yang menentukan wilayahnya mau atau tidak dijadikan sebagai ibu kota," ujarnya pada Tempo, Ahad, 18 Agustus 2019.
Karena Presiden Jokowi sudah menyatakan pemindahan pusat pemerintahan ke Kalimantan di dalam pidato kenegaraannya itu, menurut Khalis, maka DPR harus secepatnya membuka ruang bagi rakyat luas dalam memberikan pandangan.
Walhi juga menyoroti pernyataan yang muncul dari pejabat pemerintah pusat. Khalisah berujar kajian mengenai dampak lingkungan hidup cenderung diabaikan. "Padahal aspek ini penting, mengingat terhubung dengan tata ruang wilayah," tuturnya.
Selain itu, Khalis meragukan kepedulian pemerintah terhadap dampak lingkungan di balik rencana pemindahan ibu kota ini. Alasannya kebijakan alih fungsi hutan dan lahan selama ini untuk berbagai industri melahirkan krisis ekologis dan sosial dan pemerintah tidak memberikan perhatian khusus terhadap krisis lingkungan di Kalimantan.
"Kebakaran hutan, lalu di Kalimantan Timur misalnya, anak-anak yang mati di lubang tambang batubara, kemudian tiba-tiba mau pindah ibu kota karena Jakarta sudah krisis? Selesaikan saja terlebih dahulu krisis lingkungan hidup yang terjadi berkepanjangan," ujarnya.
Adapun Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja menganggap pemindahan pusat pemerintahan belum mendesak dilakukan. Pemindahan ibu kota jangan sebatas karena Jakarta semrawut. Kompleksitas masalah yang ada di Jakarta, kata dia, harus dihadapi seperti layaknya kota-kota lain.
Ia mendorong pemerintah menyelesaikan semua permasalahan yang ada di Jakarta ketimbang memindahkan ibu kota. "Banyak kota lain punya masalah sekompleks Jakarta dan unik sesuai konteksnya. Pindah juga bukan berarti masalah hilang," ujarnya.
Dari sisi pendanaan, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana pemindahan ibu kota ini. Terlebih pemerintah menyatakan butuh dana sekitar Rp 466 triliun dan ingin sekecil mungkin menggunakan APBN. "Perlu dikaji lebih mendalam kesiapan pembiayaan, pola kerja sama swasta, proyek mana yang bisa didanai swasta, mana yang perlu APBN," ujarnya.
Ide pemerintah yang Ingin tukar guling aset-aset di Jakarta demi menambah modal juga dirasa tidak tepat. Bhima berpendapat tanah negara di DKI Jakarta seharusnya tidak dijual. Sedangkan jika gedung kementerian atau lembaga mau disewakan belum tentu menarik minat swasta.
“Lokasi memang strategis tapi harga sewa juga tergantung usia bangunan. Sementara bangunan eks kementerian atau lembaga umurnya sudah tua, yang jelas mengalami depresiasi," ucapnya. Sebab, kata dia, skema itu hanya sebagian kecil dari cara mendanai pindah ibu kota. "Uangnya pasti tidak ckup dengan tukar guling," ujarnya.
Menurut Bhima, dalam penganggaran rencana pemindahan Ibu Kota setidaknya perlu partisipasi swasta yang cukup dominan hingga 60 persen ditambah masukan dari BUMN dan mengambil kurang dari 10 persen APBN. "Jadi harus dibagi mana proyek yang komersil sehingga swasta tertarik. Misalnya pembangunan perumahan untuk PNS dan yang kurang komersil sebagian dibentuk penugasan ke BUMN," tuturnya.