Pertama, pemerintah akan menaikkan besaran premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan. “Berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp23 ribu. Itu tidak sanggup sistem kita," kata JK di Kantor Wapres Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
Iuran bulanan BPJS Kesehatan saat ini terbagi dalam tiga jenis, yakni Rp 25.500 untuk peserta jaminan kelas III, Rp 51.000 untuk peserta jaminan kelas II dan tertinggi Rp 80.000 untuk peserta jaminan kelas I.
Strategi kedua, Presiden Jokowi telah menginstruksikan agar BPJS Kesehatan memperbaiki manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut. Adapun strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah.
Artinya, pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan akan menjadi tanggung jawab gubernur, bupati dan wali kota masing-masing daerah. "Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi. Supaya rentang kendalinya tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat," kata JK.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga meminta BPJS Kesehatan untuk memperbaiki sistemnya secara keseluruhan di antaranya untuk mengantisipasi adanya fraud atau kecurangan. "Kemarin ada indikasi kemungkinan terjadi fraud, itu perlu di-address," ujar Sri Mulyani di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menyarankan BPJS Kesehatan membangun sistem untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kecurangan seperti overclaim, misalnya ketika pasiennya tidak ada tapi tetap ada klaim pembayaran. Basis data kepesertaan, sistem rujukan antara puskesmas dan rumah sakit ke BPJS, hingga sistem menangani tagihan juga harus diperbaiki. "Termasuk sistem akuntasi dari BPJS Kesehatan dalam menangani tagihan yang belum tertagih, itu juga salah satu temuan BPKP."
Presiden Joko Widodo, menurut Sri Mulyani, juga berharap peranan pemerintah daerah bisa lebih besar dalam melakukan screening, koordinasi, pengendalian, hingga pengawasan fasilitas kesehatan di tingkat lanjut atau tingkat rumah sakit. Melalui langkah itu saja, BPJS Kesehatan diyakini bisa berhemat puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Adapun dari hal peserta, ia mengatakan persoalannya adalah ada kelompok yang kepatuhannya sangat rendah dan perlu diperbaiki, yaitu pekerja sektor informal atau upah tidak tetap. Ketidakpatuhan itulah yang menyebabkan besarnya defisit. "Biasanya mereka hanya jadi peserta saat mau sakit, kemudian menimbulkan defisit penyelenggaraan," kata Sri Mulyani.
Masalah defisit BPJS Kesehatan harus segera diatasi karena faktanya telah berimbas ke banyak rumah sakit. Salah satunya adalah rumah sakit milik Pemerintah Kota Yogyakarta, Rumah Sakit Wirosaban atau RS Jogja yang kini terancam bangkrut. Sebab, tunggakan BPJS Kesehatan hingga Rp 16 miliar telah berimbas pada kondisi keuangan dan mengganggu operasional rumah sakit tersebut.
Total utang sebesar itu adalah akumulasi dari total tunggakan RSUD Wirosaban pada bulan Maret sampai Juni 2019. "Kalau tunggakan ini tidak segera diselesaikan maka ada potensi kebangkrutan rumah sakit itu," ujar Pimpinan Komisi D DPRD Kota Yogyakarta Antonius Fokki Ardiyanto, Rabu, 31 Juli 2019.
Keadaan makin memprihatinkan, menurut Fokki, karena berdasarkan data per 1 Agustus 2019 ada 6.488 warga Kota Yogyakarta yang dicabut keanggotaannya oleh BPJS Kesehatan. "Sehingga seperti ada gelombang tsunami kepesertaan BPJS karena ini berakibat ada anggaran sekitar Rp 1,7 miliar yang harus disiapkan untuk menjamin hak kesehatan masyarakat dalam program PDPD (penduduk daerah didaftarkan pemerintah daerah)," ujarnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | EGI ADYATAMA |CAESAR AKBAR | ANTARA | PRIBADI WICAKSONO