Hampir seluruh dari akun-akun pemberi pinjaman itu menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, bahkan di antaranya ada yang mengklaim sudah terdaftar di OJK. Setelah dicek, ternyata belum terdaftar, contohnya seperti PT KSP Sejahtera Bersama.
Metode penawaran pinjaman online melalui SMS juga pernah Aryo Prasojo dapatkan. Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi itu, mengunggah SMS tawaran pinjaman online di akun Instagram-nya karena geram.
Menurut Aryo, SMS tawaran itu datang bertubi-tubi hampir setiap hari. "Sudah beberapa bulan ini sejak marak pinjaman online. Padahal tidak pernah pinjam-pinjam gitu," kata Aryo saat dihubungi, Jumat, 19 Juli 2019.
Ada juga Dias Prasongko yang pernah menerima pesan singkat tagihan pinjaman online temannya. Namun, saat dikonfirmasi, ternyata temannya tidak meminjam. "Nomor WhatsApp dia dibajak, lalu dia gak bisa login," kata dia.
Soal larangan akses nomor kontak oleh OJK juga disebutkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau AFPI, Sunu Widyatmoko. Fintech legal hanya boleh mengakses kamera, lokasi, dan microphone.
"Kalau ada fintech lending yang mengakses kontak, sudah pasti itu adalah ilegal. Kalau itu fintech legal, langsung laporkan ke OJK dan APFI, langsung kami proses," kata Sunu saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Selasa 16 Juli 2019.
Saat ini, OJK dan asosiasi sedang mencari bentuk format untuk bisa mengakses data lain, tapi tidak boleh data kontak. Format itu akan digunakan agar ada sistem punishment bagi yang melanggar.
Pasalnya, kata Sunu, kalangan industri fintech yang berisi 113 anggota selama ini juga membutuhkan akses data dan mekanisme khusus untuk memberi sistem penalti bagi nasabah yang tak tertib. "Harus ada sistem penalty yang membuat efek jera."
Dia mengatakan fintech legal memiliki batas maksimum selisih total biaya ke peminjam, yaitu 0,8 persen per hari. Total biaya pinjaman itu, di dalamnya termasuk bunga, biaya administrasi, dan biaya lainnya.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, mengatakan saat ini dari 113 penyelenggara fintech peer to peer lending terdaftar dan berizin, 107 di antaranya berbentuk konvesional dan 6 syariah. "Dari jumlah itu, akumulasi pinjaman fintech sebesar Rp 41,04 triliun (hingga Mei 2019)," kata Wimboh dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di kompleks parlemen akhir Juni lalu.
Wimboh mengatakan jumlah peminjam hingga 25 Juni 2019 sebanyak 8,7 juta. Angka itu melonjak hingga 100,7 persen secara year to date. Sedangkan jumlah pemberi pinjaman tercatat sebanyak 456 ribu, atau naik 119,9 persen year to date.
Fintech ilegal
Dari data Satgas Waspada Investasi, pada 2018 terdapat 404 entitas fintech peer to peer lending ilegal dan 108 entitas investasi legal. Dari 108 entitas itu itu, 39 di antaranya bergerak di bidang forex atau future trading, 34 MLM tanpa izin, dan 19 cryptocurrency.
Sedangkan pada 2019 terdapat 683 fintech peer to peer lending ilegal dan 163 investasi ilegal. Jumlah 163 entitas itu terdiri dari 116 forex, 12 MLM, 5 cryptocurrency, 9 investasi uang dan 21 lainnya. Adapun dari 2018 hingga 2019, Satuan Waspada Investasi telah menghentikan 1.087 entitas fintech peer to peer lending ilegal.
Meski tak sedikit fintech ilegal yang ditutup, pengaduan konsumen ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dari waktu ke waktu tak lantas menyusut. Kepala Staf Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo mengatakan pengaduan konsumen pinjaman online dari Januari hingga Juni 2019 sebanyak 41. Pengaduan yang diadukan konsumen bervariasi mulai dari cara penagihan, suku bunga, dan denda keterlambatan.
Sedangkan sepanjang tahun 2018 ada sebanyak 81 pengaduan soal pinjaman online di YLKI. Saat itu pengaduan mempersoalkan cara penagihan, pengalihan kontak, suku bunga tinggi, dan pengaduan lainnya.
Rio menyebutkan lemahya literasi konsumen terhadap fintech merupakan salah satu faktor penyebab masih banyaknya pengaduan di YLKI. Konsumen tidak mengetahui secara pasti besaran bunga dan denda yang dikenakan.
“Akibatnya setelah peminjaman berjalan, utang yang ditagihkan konsumen sangat besar yang menyebabkan konsumen gagal bayar dan pelaku usaha melakukan penagihan dengan cara menggunakan akses kontak yang ada di HP konsumen," ujar Rio saat dihubungi.
Lebih jauh Rio mendesak agar segera dibuat Undang-undang Perlindungan Data Pribadi agar dapat mengakomodir permasalahan pengalihan kontak konsumen terhadap pelaku usaha. Selain itu agar ada sanksi yang tegas mengatur apabila terjadi penyalahgunaan data pribadi.
Kedua, perlu peran OJK untuk mengawasi praktik fintech legal maupun ilegal. Rio menilai OJK juga harus mengawasi pelaku usaha dalam penetapan suku bunga. "Jangan sampai terlalu tinggi yang dapat menyebabkan konsumen mengalami gagal bayar," ucapnya.
OJK juga tak henti-hentinya memberikan tips agar masyarakat tak terjerat fintech ilegal. Pertama, hanya meminjam dana pada fintech yang terdaftar di OJK. Kedua, masyarakat meminjam sesuai kebutuhan dan seusai kemampuan membayar.
"Jangan meminjam lebih besar pasak daripada tiang. Jangan coba-coba," ujar Tongam. Ketiga, masyarakat sebelum meminjam ke fintech, harus memahami dulu syarat dan ketentuannya soal kewajiban seperti apa, fee, bunga, dan dendanya.