TEMPO.CO, Jakarta - Beijing akhirnya berbicara keras menanggapi demonstrasi pro demokrasi di Hong Kong karena tumpah darah di ruang publik dan aksi vandalisme pada simbol negara.
Selama sekitar 4 bulan berunjuk rasa, Cina merespons secara lunak dengan meminta pemerintah otoritas Hong Kong menyelesaikannya.
Pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menyatakan pembahasan Rancangan Undang-undang ekstradisi ke Cina dihentikan. Tapi Lam tidak eksplisit menyebutkan RUU itu batal dan dicabut untuk tidak lagi dibahas.
Demonstrasi penentang RUU Ekstradisi di Cina ternyata berlanjut dengan menuntut pemerintah Hong Kong yang menjadi perpanjangan tangan Cina mundur.
Pada hari Minggu malam lalu, 21 Juli 2019, demonstrasi pendukung demokrasi kembali turun ke jalan. Aksi mereka berujung kekerasan dan pertumpahan darah ketika sekelompok pria berpakaian t-shirt putih dan celana panjang hitam dan mengenakan masker.
Simbol negara Cina di gedung penghubung Cina di Hong Kong dilempari telur dan paintballs oleh demonstran di Minggu malam, 21 Juli 2019. [SOUTH CHINA MORNING POST]
Para demonstran penentang Cina yang melakukan vandalisme di gedung penghubung pemerintah Cina di Hong Kong dihadang oleh kelompok pria yang diduga anggota triad yang menguasai kawasan Yuen Long.
Beijing gerah dengan perilaku vandalisme para demonstran pro demokrasi dan aksi kekerasan yang terjadi yang dipandang sebagai mengganggu keamanan dan kedaulatan Cina.
Sejumlah pejabat top Beijing di Hong Kong pun angkat bicara yang diawali dengan pernyataan mengecam aksi kekerasan itu yang dianggap telah menyinggung perasaan seluruh rakyat Cina.
Direktur kantor penghubung Cina di Hong Kong, Wang Zhimin mengeluarkan pernyataan pribadi yang menurut laporan South China Morning Post, 23 Juli 2019, jarang diucapkan.
"Perusuh yang melempari telur ke gedung kantor penghubung di Distrik Barat dan paintballs akan dihukum oleh otoritas lokal," kata Zhimin.
"Mereka menghancurkan fasilitas keamanan kami, dan menulis kata-kata untuk menghina negara dan integritas nasional. Kantor penghubung dan berbagai sektor di Hong Kong mengeluarkan kecaman terkuat terhadap aksi seperti ini."
Menurutnya, sejumlah pengunjuk rasa menantang dasar dari penegakan hkum Hong Kong dan otoritas dan konstitusi dan Hukum Dasar, sama halnya dengan otoritas pemerintah pusat, kedaulatan, keamanan nasional, harga diri dan simbol.
Para perusuh menantang garis dasar dari satu negara, dua sistem.
Pengunjuk rasa membawa poster dalam demonstrasi menuntut para pemimpin Hong Kong untuk mundur dan mencabut RUU ekstradisi, di Hong Kong, Cina, Ahad, 16 Juni 2019. Pendemo kembali turun ke jalan sehari setelah pemimpin kota itu, Carrie Lam menunda pembahasan RUU Ekstradisi menyusul demonstrasi yang dilakukan sekitar 1 juta orang.. REUTERS/Tyrone Siu
Seorang anggota parlemen Cina, Leung Che-cheung, mengatakan kantor penghubung itu merujuk pada kedaulatan Cina terhadap Hong Kong.
"Kami pertama-tama memiliki satu negara, sebelum kami memiliki dua sistem. Saat mereka merusak simbol negara, mereka mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan satu negara, dua sistem dan hanya ingin Hong Kong merdeka," kata Leung dari Aliansi Demokrasi untuk Perbaikan dan Progres Hong Kong.
Adapun pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam mengatakan, pengunjuk rasa yang merusak simbol negara di luar gedung kantor penghubung akan diinvestigasi sesuai hukum yang berlaku.
"Kekerasan bukan solusi untuk bermacam masalah. Kekerasan hanya akan menjadi benih akan lebih banyak kekerasan," kata Lam.
Menurut laporan CNN, otoritas Cina dan Hong Kong memang tidak berencana mengerahkan tentara ke Hong Kong untuk menyelesaikan kerusuhan ini.
Namun, tidak ada jaminan tentang sikap Cina itu. Lagipula sulit memprediksi perkembangan reaksi Beijing. Alasannya, ketiadaan transparansi mengenai cara Cina mengatasi Hong Kong selama ini.
Aksi demonstrasi di Hong Kong tidak ada kepastian akan berujung dengan baik. Kota Hong Kong yang dulu dikenal dengan stabilitas dan kedamaian saat ini berada di tepi jurang kekacauan.