Kadar itu juga diatur dalam Standar Nasional Indonesia alias SNI. Pada SNI 01-4435-2000 tentang garam bahan baku untuk industri garam beryodium, kadar NaCl minimal adalah 94,7 persen. Sementara SNI 01-3556-2010 tentang garam konsumsi beryodium, menyebut kadar NaCl minimal 94 persen. Sedangkan pada SNI 0303-2012 tentang garam industri CAP, kadar NaCl minimalnya adalah 96 persen.
Dengan demikian, Agung menilai adalah hal yang wajar kalau harga garam berkualitas rendah itu turun dan tidak bisa disamakan dengan yang kualitas tinggi. Bahkan ia menyebut garam KW2 dan KW3 semestinya tidak lagi diproduksi. "Industri bisa menyerap, cuma harganya pasti rendah karena rendemen kecil, jadi tidak bisa dipaksakan tinggi."
Hal senada disuarakan oleh Direktur Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono pun menceritakan sulitnya industri menyerap garam berkualitas rendah. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan serapan dari industri mencapai 1.009.000 ton hingga awal Juli 2019, dari target 1.128.000 pada akhir bulan. Serapan itu dilakukan oleh perusahaan yang telah meneken nota kesepahaman dengan pemerintah. "Sekarang sudah 90 persen yang bisa diserap, kami masih punya waktu dan yakin mereka bisa," kata Fridy.
Dari segi impor, Kementerian Perindustrian mencatat realisasi pada semester I 2019 telah mencapai 1,2 juta ton atau setara 40 persen dari kuota impor pada tahun ini yang sebesar 2,7 juta ton. Adapun sisa kuota impor tahun ini diyakini akan dipergunakan pada semester II 2019. Kuota impor garam diberikan kepada sejumlah industri, seperti pengolahan garam, CAP, perusahaan kertas, perusahaan farmasi, hingga kosmetik.
Kualitas garam itu juga menjadi perhatian dari PT Garam untuk menyerap garam produksi petani. Hingga pekan lalu, perseroan baru menyerap garam petani sebesar 4.000 ton dari total 75.000 ton pada tahun 2019. Angka ini lebih rendah ketimbang tahun lalu, kala perseroan menyerap 120 ribu ton dari total produksi garam rakyat sekitar 2,3 juta ton.
Menurut Direktur Operasi PT Garam, Hartono, penyerapan yang belum mencapai target itu penyebabnya adalah masih banyaknya garam yang belum diolah perseroan, termasuk hasil penyerapan tahun sebelumnya. Ia memprediksi puncak produksi terjadi pada September mendatang.
Mengenai harga, ia mengatakan rata-ratanya adalah Rp 1.050.000 per ton. Harga itu lebih rendah ketimbang tahun lalu yang rata-rata Rp 1,3 juta per ton. Kata Hartono, pada tahun lalu perseroan memang berusaha mengangkat harga garam ketika anjlok. Namun, ia berujar kekuatan perseroan pun terbatas. Walhasil, ketika pemain lain tidak mengikuti harga tersebut, maka mekanisme pasar pun berlaku.
Namun begitu, Hartono berharap agar harga garam itu tidak terlalu anjlok, khususnya garam kualitas KW1. PT Garam memang hanya menyerap garam berkualitas tinggi tersebut. "Supaya ada pembelajaran di petani agar tidak produksi asal-asalan," ujar dia.
Untuk memperbaiki kualitas garam rakyat, Pelaksana Tugas Direktur Pendayagunaan Pesisir KKP Muhammad Yusuf mengatakan sejatinya sudah ada program Pugar alias Pemberdayaan Usaha garam Rakyat untuk meningkatkan kualitas garam rakyat. Pemerintah berupaya mencoba teknologi teranyar dan integrasi lahan sekaligus perbaikan sumber daya manusia plus kelembagaan garam.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, intensifikasi lahan eksisting sudah diimplementasikan di sejumlah sentra garam yaitu Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan NTB. Sementara ekstensifikasi lahan sudah dilaksanakan di Aceh dan NTT dan NTB.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. TEMPO/Tony Hartawan
Menteri Luhut pun optimistis pada 2021 Indonesia bisa terbebas dari impor garam. Pasalnya, pemerintah menyatakan telah membebaskan lahan 3.720 hektare di Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk lahan tambak garam. Lahan itu akan dibagi sebanyak 40 persen untuk masyarakat dan 60 persen untuk industri garam. "Jadi itu dapat kira-kira 800 ribu ton garam industri high quality," ujarnya di kantornya, Kamis, 18 Juli 2019.
Luhut juga menjanjikan garam produksi dari sentra tersebut bisa memiliki kadar NaCl 98 persen sehingga bisa langsung diserap industri. Soal pembangunan kawasan ditargetkan rampung tahun depan.
Ke depan, petambak garam seperti Waji juga ada pendampingan ketat oleh pemerintah agar bisa mendongkrak kualitas garam sehingga bisa diserap industri. "Petani hanya mengerti bikin garam, pasarnya enggak ngerti," ujar dia. Sebelum rencana-rencana itu terealisasi, Waji dan ribuan petambak garam hanya bisa berharap stok mereka di gudang bisa diserap meski kini harganya anjlok. "Tetap akan kami lepas karena ada kebutuhan ekonomi.”
CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI