TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tetap optimistis meski Dana Moneter Internasional atau IMF belakangan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Keyakinan ini di antaranya disebutkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Baca: Sri Mulyani Sebut Saran IMF Kurangi Utang Tak Relevan dengan RI
Sri Mulyani optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dapat mencapai target 5,3-5,4 persen. “Guncangan mungkin masih akan terjadi walaupun tidak seberat 2018. Tapi kami tetap berfokus bagaimana menjaga faktor-faktor pertumbuhan dan stabilitas ekonomi di tengah lingkungan yang berubah cepat,” katanya, Selasa, 22 Januari 2019.
Untuk mencapai target itu, kata Sri Mulyani, dibutukan motor utama berupa investasi. “Selain investasi, konsumsi akan kami jaga dengan inflasi yang tetap rendah. Sedangkan investasi akan kami dorong hingga bertumbuh 7 persen.”
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menjelaskan, antisipasi merespons perlambatan ekonomi global dengan menggenjot investasi sebetulnya sudah dilakukan sejak tahun lalu. “Kami akan mendorong investasi, terutama untuk memperkuat industri dari hulu ke hilir melalui paket kebijakan yang telah dikeluarkan,” tuturnya.
Langkah yang ditempuh pemerintah, kata Iskandar, antara lain adalah mengoptimalkan sistem perizinan online single submission (OSS), memberi insentif pajak untuk industri pionir, dan relaksasi daftar negatif investasi (DNI). Untuk menarik investor, pemerintah juga meneruskan proyek infrastruktur yang bisa mengurangi biaya logistik. Iskandar menuturkan, mesin pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan banyak bertumpu pada investasi.
Dalam pertemuan World Economic Forum 2019 di Davos, Swiss, Senin waktu setempat, Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Economic Counsellor dan Direktur Riset IMF, Gita Gopinath, mengatakan perlambatan pertumbuhan ekonomi global disebabkan oleh dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina serta kebuntuan kesepakatan Brexit.
“Kami melihat risiko pelemahan akan meningkat,” ujar Gopinath. Melambatnya pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan terjadi di negara berkembang akibat lesunya perdagangan antara Cina dan sejumlah negara Asia.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan tengah mewaspadai potensi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat fluktuasi harga komoditas. “Kami akan terus bersinergi dengan pemerintah untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor untuk mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan (CAD) serta mendorong surplus neraca modal,” ucapnya.
Mantan menteri keuangan Chatib Basri mengingatkan pemerintah akan adanya kemungkinan kontraksi harga komoditas pada tahun ini akibat pelemahan permintaan dunia. “Ada kecenderungan harga kelapa sawit, batu bara, dan karet memburuk, sehingga pemerintah perlu agak berhati-hati,” katanya.
Menurut lulusan Universitas Indonesia ini, kondisi itu bisa berdampak negatif pada aktivitas ekspor dan penerimaan negara. “Ini juga dapat membuat pendapatan masyarakat yang bergantung pada sektor perkebunan tertekan, daya beli bisa melemah, sehingga butuh antisipasi kebijakan pemerintah.”
Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah perlu mengoptimalkan belanja negara untuk mendorong konsumsi rumah tangga. “Belanja sosial, seperti program keluarga harapan, belanja persiapan pemilu, dana desa, dan subsidi pada tahun politik memiliki dampak berganda pada pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
Baca: Devisa yang Masuk Selama Pertemuan IMF - Bank Dunia Rp 396 Miliar
Menurut Bhima, masih ada peluang mendorong konsumsi di tengah perlambatan ekonomi global seperti yang diproyeksikan IMF. Hal ini tercermin dari tingkat belanja pemerintah yang hingga kuartal III 2018 tumbuh 6,28 persen atau lebih tinggi dari konsumsi rumah tangga yang tumbuh di kisaran 5,01 persen.
GHOIDA RAHMAH