Kedua, BPK juga menemukan pembuangan pasir sisa limbah alias tailing yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Untuk masalah ini, BPK menyebut Freeport sudah melakukan pembahasan bersama KLHK. "Freeport Indonesia telah membuat roadmap sebagai rencana aksi penyelesaian masalah tersebut dan membahasnya dengan KLHK," ujar Rizal.
Ketiga, BPK menemukan adanya permasalahan kekurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi total sebesar US$ 1,6 juta atau sekitar Rp 23 miliar. Namun BPK memandang kekurangan PNBP sebesar Rp 23 miliar sudah diselesaikan oleh Freeport Indonesia sesuai peraturan yang berlaku.
Keempat, BPK melihat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memperbaiki regulasi usaha jasa pertambangan untuk perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. "Sehingga, potensi penyimpangan pada masa yang akan datang dapat dicegah dan tidak terjadi kembali," ujar Rizal.
Tak hanya temuan ini, BPK sebenarnya pernah juga melaporkan hasil audit atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap penerapan kontrak karya Freeport Indonesia pada Maret 2018. Hasil audit yang dipublikasikan ini menunjukkan adanya kerusakan ekosistem akibat limbah PT Freeport Indonesia di Papua senilai Rp 185 triliun.
Namun, Rizal menyebut BPK masih akan memonitor tindakan dari Kementerian LHK terkait kerusakan Rp 185 triliun itu. "BPK akan memonitornya karena LHK adalah mitra BPK yang akan melakukan pemeriksaan," ujar Rizal.
Adapun Menteri Siti Nurbaya menyebut kajian atas kerusakan Rp 185 triliun ini belum akan dilakukan dalam waktu dekat. "Kami harus cek dulu semua tahapan ini," ujarnya.
Untuk urusan limbah tailing yang belum usai, Siti mengatakan rekomendasi yang akan dijalankan adalah dengan pembuatan peta jalan (roadmap) oleh Freeport sebagai rencana aksi penyelesaian permasalahan tersebut. Adapun bentuknya adalah penyusunan kajian yang saat ini sudah selesai.
Roadmap ini adalah bagian dari penyelesaian Freeport terhadap 48 sanksi administratif terkait pembuangan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Siti mengatakan masalah AMDAL/RKL-RPL, izin lingkungan, pencemaran air, pencemaran udara sudah diselesaikan Freeport. Namun sanksi terkait tujuh temuan pelanggaran pengelolaan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), tak bisa diselesaikan secara cepat.
"Tujuh macam masalah itu terkait dia tidak bisa lakukan, kecuali dalam satu rangkuman dengan roadmap," kata Siti.
Adapun pelaksanaan roadmap itu akan selesai secara bertahap dan paling lambat baru selesai kurang dari 5 tahun. "Roadmap pertama 2018 - 2024. Lalu roadmap berikutnya 2025-2030," kata Siti.
Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama mengatakan Freeport telah menerima laporan lengkap dari BPK ini, termasuk denda Rp 480 miliar yang harus mereka bayar. "Kami masih mempelajarinya laporan BPK tersebut," kata saat dihubungi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan dengan terbitnya izin pinjam pakai hutan, maka divestasi PT Freeport oleh PT Indonesia Asahan Alumunium memasuki tahap akhir. Inalum tinggal melakukan transaksi dana sebesar US$ 3,85 miliar, yang mereka dapat dari obligasi global (global bond).
Baca: Didenda Rp 460 Miliar Akibat Pakai Hutan, Ini Komentar Freeport
Jonan mengatakan kewajiban smelter oleh Freeport dan perubahan dari Kontrak Karya ke Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK) juga sudah disepakati. Ia mengatakan untuk IUPK, telah disepakati perpanjangan operasi adalah tiap 2 x 10 tahun. "Lalu untuk pajak dan penerimaan negara, kemarn Bu Sri Mulyani sudah selesai paraf paraf. Kepmennya mestinya selesai hari ini dan besok paling lambat," kata Jonan.