TEMPO.CO, Jakarta - Pengungsi etnis Muslim Rohingya yang tinggal di sejumlah kamp di Bangladesh melakukan protes menuntut Bangladesh mengakui identitas etnis mereka sebagai Rohingya.
Pengungsi Rohingya juga menuntut agar badan-badan bantuan kemanusiaan berhenti membagikan informasi tentang keluarga mereka kepada Myanmar.
Baca: Unjuk Rasa di Rakhine Tolak Pemulangan Kembali Rohingya
"Istilah Rohingya sangat penting karena kami telah dipersekusi karena identitas kami," kata para pengungsi dalam pernyataan protesnya seperti dikutip dari Reuters, 26 November 2018.
Para pengungsi juga menegaskan istilah Rohingya di Myanmar telah dilarang, tapi tidak seharusnya pula Bangladesh melarang penggunaan kata Rohingya.
Aksi protes pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di sebelah tenggara Bangladesh membuat sejumlah pasar tutup.
Rohingya yang bekerja dengan lembaga non-pemerintah dan Badan PBB untuk mengurus pengungsi, UNHCR, melakukan boikot dengan tidak masuk kerja.
Baca: 4 Alasan Penolakan Repatriasi Pengungsi Rohingya
Rohingya menganggap diri mereka sebagai etnis asli di negara bagian Rakhine, namun pemerintah Myanmar dan warga negara itu menolak mengakui sebagai warga negara, karena dianggap imigran ilegal dari wilayah subkontinental India.
Sejak Undang-undang melarang kewarganegaraan untuk Rohingya dan etnis minoritas lainnya terbit pada tahun 1982, banyak Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Pemerintah Myanmar bahkan menolak menggunakan kata Rohingya, sebaliknya menyebut mereka sebagai Bengali.
Baca: Menolak Dipulangkan, Rencana Repatriasi Rohingya ke Myanmar Batal
Unjuk rasa pengungsi Rohingya di Bangladesh terkait pula dengan rencana UNHCR mengumpulkan data biometrik dan menyalinnya sebagai dokumen. Pengungsi Rohingya khawatir aparat UNHCR dan Bangladesh akan membagikan data mereka ke Myanmar, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menentang mereka.
Perwakilan UNHCR, Firas Al-Khateeb mengatakan, data pengungsi Rohingya dikumpulkan untuk proses verifikasi dengan tujuan membantu Rohingya mendapatkan perlindungan lebih baik dan memastikan akses mereka untuk mendapatkan pelayanan di Bangladesh.
"Ini tidak ada kaitan dengan repatriasi (pemulangan kembali Rohingya ke Myanmar)," kata Al-Khateeb seraya menjelaskan data itu digodok oleh Bangladesh dan UNHCR.
Adapun pengungsi Rohingya menolak rencana pemulangan kembali ke Myanmar kecuali tuntutan mereka dipenuhi yakni mendapatkan keadilan, mendapat status kewarganegaraan Myanmar, dan dapat kembali ke desa mereka dan tanah kelahiran mereka.
Awal pekan ini, sekitar 100 warga Myanmar di Rakhine melakukan unjuk rasa menolak pemulangan kembali etsni Rohingya yang saat ini mengungsi di sejumlah kamp di Bangladesh.
Mereka beralasan sama dengan pemerintah Myanmar bahwa mereka bukan warga Myanmar.
Bangladesh telah mendesak para pengungsi menerima kartu cerdas untuk membantu mengidentifikasi dan mendistribusikan bantuan. Di kartu pintar itu, identitas individu disbeut warga Myanmar yang terpaksa mengungsi. Bangladesh tidak menggunakan kata Rohinbya.
Saat ini sekitar 700 ribu Rohingya menjadi pengungsi di kamp-kamp di Bangladesh setelah militer Myanmar melakukan operasi militer pada Agustus 2017.