TEMPO.CO, Jakarta - Pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa berharap kisruh data produksi beras yang disebut bermasalah selama 20 tahun belakangan ini dapat segera diselesaikan. "Jangan sampai ini berkelanjutan dan jadi komoditas politik," ujarnya belum lama ini.
Baca: JK: Bukan Hanya Mentan, Saya Juga Salah Soal Data Beras!
Hal senada disampaikan oleh Direktur Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati. Ia menilai dengan adanya data pemerintah akurat, maka sebenarnya tidak akan terjadi keterlambatan untuk menentukan apakah harus melakukan impor atau tidak.
Pernyataan ini menanggapi polemik soal data beras yang kembali muncul. Sebelumnya, dalam rapat koordinasi di kantor Wakil Presiden, Senin lalu, BPS merilis proyeksi produksi beras hingga akhir tahun ini sebanyak 32,42 juta ton.
Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding penghitungan Kementerian Pertanian, yakni 46,5 juta ton. BPS pun menghitung potensi produksi gabah kering giling (GKG) hingga Desember mencapai 56,54 juta ton, jauh di bawah proyeksi Kementerian Pertanian sebanyak 83 juta ton.
Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan segera merilis detail penghitungan dan data hasil olahan lembaganya hari ini. “Besok (hari ini) akan kami buka,” ujarnya.
Ditemui di kantornya, kemarin, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ada kekeliruan penghitungan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Menurut dia, penghitungan itu tidak mempertimbangkan luas lahan panen yang berkurang. "Luas sawah berkurang terus, tapi tidak dikurangi penghitungan produksinya. Karena itu, data pasokan beras naik terus padahal sebenarnya tidak," tuturnya.
Namun, kata Kalla, kesalahan ini juga melibatkan lembaga lain. “Bukan Menteri Pertanian saja. Kesalahan BPS juga, kesalahan Kementerian Agraria juga, kesalahan bupati. Saya sebagai Wakil Presiden termasuk salah karena tidak segera mengevaluasi,” katanya. Menurut Kalla, data tentang beras sudah keliru sejak 20 tahun lalu.
Untuk menebusnya, kata Kalla, pemerintah memperbaiki metode penghitungan dengan memakai kerangka sampel area (KSA). Metode ini hasil kerja sama BPS, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Kementerian Agraria menghitung luas lahan baku sawah nasional, dibantu oleh BIG dan Lapan. BPS dan BPPT kemudian menghitung luas panen. Dari data tersebut, BPS menghitung produktivitas per hektare lahan dan konversi gabah kering menjadi beras. “Penghitungan ini memakai citra satelit. Setelah itu dicek lagi ke lapangan,” kata Kalla.
Dengan metode tersebut, Kalla mengklaim datanya lebih akurat. Beberapa indikator yang ditetapkan adalah luas lahan baku sawah 7,1 juta hektare dan luas lahan panen tahun ini mencapai 10,9 juta hektare.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dengan data yang akurat, pemerintah bisa menyusun kebijakan tepat sasaran. “Keputusan bisa diambil tanpa debat dan polemik,” ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Pertanian mempertanyakan data produksi beras dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan metode penghitungan baru. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Sumardjo Gatot Irianto, mengatakan belum ada keterangan rinci dari BPS sehingga lembaganya belum menentukan sikap mengenai data terbaru itu. "Kami menunggu keterangan BPS yang lebih detail," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Gatot mengaku belum bisa mengambil sikap ihwal perbedaan data tersebut lantaran tak mengetahui detail penghitungan BPS. Salah satunya, kata dia, metode penghitungan data luas panen dan produktivitas per kecamatan. "Selain itu, bagaimana konversi dari gabah kering panen ke gabah kering giling kemudian menjadi beras," ujar dia.
Baca: Beda Jauh Data Produksi Beras dari BPS dengan Kementan, Kok Bisa?
Terkait hal itu, Dwi juga berharap hasil penghitungan terbaru soal beras bisa lebih dipertanggungjawabkan. Dia menilai selama ini metode penghitungan Kementerian Pertanian belum akurat dan kerap ditumpangi berbagai kepentingan. Kondisinya berbeda dengan data terbaru yang minim intervensi. "Misalnya, basis citra satelit relatif minim intervensi."
VINDRY FLORENTIN | ANDI IBNU