TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak menampik perubahan equilibrum nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang meningkat bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara. Musababnya, hulu persoalan pelemahan mata uang garuda bersinggungan langsung kepada faktor eksternal seperti perang dagang dan kembalinya aliran modal ke Amerika Serikat yang memasuki periode moneter ketat setahun terakhir.
BACA: Kurs Rupiah RAPBN 2019 Dipatok di Rp 15.000 per Dolar AS
"Pertumbuhan ekonomi global stagnan 3,7 persen dan perdagangan global melemah dari 4,2 ke 4,0 persen," kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Selasa, 17 Oktober 2018.
Menurut Sri Mulyani, berbagai perkembangan tersebut bisa menekan investasi yang terangkum dalam pembentukan modal tetap bruto atau PMTB. Dia memprediksi PMTB yang saat ini sudah hampir melewati angka tujuh persen, bakal loyo di tahun depan menjadi 6,51 persen. Nilai tukar juga bisa mengganggu laju konsumsi rumah tangga meski masih bisa dipertahankan di atas lima persen di kisaran 5,05-5,07 persen.
"Asumsi Rp 15.000 sudah kami pakai tahun ini, tapi karena APBN 2018 sudah mau habis kami prediksi tak berpengaruh banyak," kata Sri Mulyani.
BACA: Kurs Rupiah Menguat Jadi 15.180 Dipicu Surplus Perdagangan
Karena itu, dia masih optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih bisa sesuai target 5,1-5,2 persen. Adapun untuk tahun depan, Kementerian Keuangan memproyeksi pertumbuhan bakal melambat di angka 5,12 persen.
Meski begitu, proyeksi perlambatan tersebut baru menghitung semua komponen yang bisa ditransmisi di bidang fiskal. Berbagai upaya di luar fiskal seperti kemudahan perizinan bakal terus dilakukan untuk menstimulus pertumbuhan sektor swasta. Walhasil, pemerintah masih akan mempertahankan proyeksi pertumbuhan 5,3 persen di tahun depan. “Memang untuk pajak kami takkan mematok target rasio pajak setinggi langit karena akan kontradiktif makin melambatkan laju pertumbuhan,” kata Sri.
Dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara 2019, pemerintah hanya merevisi asumsi makro nilai tukar dari 14.500 menjadi 15.000. Asumsi diubah lantaran proyek Dana Moneter Dunia dan Bank Dunia memprediksi pelemahan nilai tukar masih bakal berlanjut hingga tahun depan.
Bahkan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar bahkan bisa menembus Rp 15.200 hingga akhir tahun. Walhasil berbagai rentetan tersebut bisa menaikkan laju inflasi yang saat ini 3,49 persen menjadi 3,6 persen.
Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Ecky Awal Mucharam mengatakan pemerintah tak bisa serta merta mengajukan revisi kurs nilai tukar rupiah begitu saja. Menurutnya, perlu ada diskusi mendalam lantaran komponen nilai tukar banyak mempengaruhi jeroan dalam APBN seperti belanja kementerian, subsidi, hingga suku bunga. “Apalagi kalau ngomongin pertumbuhan, selisih 0,2 persen itu kan besar sekali,” ujar Ecky.
Wakil Ketua Badan Anggaran Said Abdullah, mengatakan Badan akan menyetujui usulan pemerintah yang hanya mengubah asumsi nilai tukar. Meski begitu, alat kelengkapan Banggar seperti panitia kerja penerimaan dan pengeluaran negara akan segera memperdalam pembahasan. “APBN harus rampung tanggal 29 nanti, kami setujui dengan catatan pemerintah mau segera membahas juga dengan komisi,” ujar Said.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, mengatakan pertumbuhan ekonomi tahun ini masih bisa tembus 5,2 persen karena banyaknya perhelatan besar yang digelar di Indonesia. “Asian Games, misalnya bisa memberi sumbangsih pertumbuhan ekonomi tahun ini 0,05 persen,” kata Bambang. Adapun untuk tahun depan, pemerintah bakal memperkuat program yang bisa menjaga daya beli masyarakat seperti penerima program keluarga harapan yang menyasar 15 juta keluarga dengan bantuan Rp 3,1 juta setiap keluarga yang memakan alokasi dana Rp 31 triliun .
ANDI IBNU |LARISSA HUDA