TEMPO.CO, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM khawatir berlanjutnya pelemahan rupiah bakal membuat realisasi investasi pada paruh kedua tahun ini semakin lambat. Target penanaman modal Rp 765 triliun tahun ini, baik dari dalam maupun luar negeri, berisiko tak tercapai.
Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong mengatakan pelemahan rupiah dan sentimen perang dagang global telah menyebabkan realisasi penanaman modal pada semester lalu melambat. “Kecenderungan investor menunda (penanaman modal) tinggi sekali,” kata Thomas di kantornya, Selasa, 14 Agustus 2018.
BACA: Lira Turki Menguat, Rupiah pun Diprediksi Menguat Hari Ini
Potensi berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS justru meningkat ketika bank sentral dan pemerintah tengah melakukan stabilisasi. Sentimen negatif baru datang dari luar. Memuncaknya krisis ekonomi yang dialami Turki memicu kekhawatiran krisis bakal menular ke negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia. (Koran Tempo edisi 14 Agustus 2018: Pelemahan Rupiah Rentan Berlanjut)
Data BKPM menunjukkan realisasi penanaman modal pada semester pertama lalu naik 7,42 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kenaikan tersebut ini lebih rendah dibanding pencapaian semester pertama 2017 yang melonjak 12,8 persen. Melambatnya pertumbuhan didorong oleh jebloknya kinerja penanaman modal asing (foreign direct investment) pada triwulan II 2018, baik dibanding triwulan sebelumnya maupun periode yang sama tahun lalu.
Kepala BKPM Thomas Lembong saat memberikan keterangan pers Realisasi Investasi Kuartal I di kantor BKPM, Jakarta, 26 April 2017. Tempo/Tongam Sinambela
Kondisi ini dinilai memprihatinkan lantaran FDI sangat penting untuk menyerap tenaga kerja. Walau begitu, Thomas menilai langkah investor asing menunda atau membatalkan investasinya di kondisi saat ini sebagai hal yang wajar. Dia memastikan lembaganya tetap akan mendukung segala upaya untuk meningkatkan likuiditas. “Atau setidaknya bisa meyakinkan pasar, rupiah sudah mencapai ekuilibrium baru,” kata Thomas.
Presiden Joko Widodo pun mengumpulkan anggota kabinet ekonomi di Istana Negara untuk kembali membahas upaya menstabilkan nilai tukar rupiah, Selasa, 14 Agustus 2018. Membuka rapat, Jokowi kembali menyampaikan pesannya dalam rapat serupa pada Selasa, dua pekan lalu. “Perkuat cadangan devisa penting agar ketahanan semakin kuat, terutama menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Termasuk dampak yang terakhir terjadi di Turki,” kata Jokowi.
BACA: Rupiah Jeblok, LPEM UI: Bukan yang Terparah Dibanding Negara Lain
Setelah mengikuti rapat, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan bank sentral akan melanjutkan langkah yang selama ini telah dilakukan, dari kebijakan suku bunga sampai stabilisasi nilai tukar rupiah. “Ini komitmen kami dalam menjaga stabilitas ekonomi,” kata Perry. Rencananya, Rapat Dewan Gubernur BI digelar hari ini, di antaranya membahas kebijakan suku bunga acuan bank sentral.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Dzulfian Syafrian menyebut pemerintah mesti mewaspadai kenaikan harga minyak dunia akibat krisis lira Turki dan geopolitik di Timur Tengah mengingat 2018-2019 merupakan tahun politik. "Kalau harga minyak dunia tiba-tiba meroket, besar kemungkinan Presiden Joko Widodo akan subsidi besar-besaran," ujarnya kepada Tempo, Rabu, 15 Agustus 2018. Imbasnya, defisit ganda yang tengah dialami Indonesia bakal semakin memburuk.
Saat ini, Indonesia tengah mengalami defisit fiskal dan defisit neraca berjalan. Defisit neraca ganda inilah yang kemudian menjadi alasan struktural dan fundamental mengapa rupiah terus melemah.
ANDI IBNU l AHMAD FAIZ | HENDARTYO HANGGI | DIAS PRASONGKO l CAESAR AKBAR