TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia mengencangkan pengamanan terhadap potensi bangkitnya teroris pasca-putusan hukuman mati terhadap pemimpin Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Aman Abdurrahman. Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, mengatakan telah memperkuat satuan tugas antiteror di setiap kepolisian daerah.
“Satgas antiteror di setiap polda ini yang memantau seluruh sel-sel yang terkait dengan Jamaah Ansharud Daulah dan Jamaah Ansharut Tauhid,” katanya kepada Tempo, Jumat, 22 Juni 2018.
Kemarin, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum mati teroris Aman lantaran terbukti menjadi dalang sejumlah peristiwa teror, termasuk kejadian bom Thamrin pada Januari 2016. Vonis tersebut serupa dengan tuntutan tim jaksa pada sidang Mei lalu. Kepolisian tak menepis putusan tersebut bakal memicu reaksi dari sel-sel JAD di daerah.
Menurut Setyo, setiap kepolisian daerah sudah bekerja sama dengan tim Detasemen Khusus 88 Antiteror untuk menyisir pergerakan sel-sel pimpinan Aman. Sebab, Densus sudah memiliki data perihal struktur anggota sel-sel tersebut. “Mereka bersinergi untuk mengawasi (sel-sel) yang ada di wilayah,” tuturnya. Dia menambahkan, kerja sama tersebut akan difokuskan pada upaya pencegahan dengan menangkap sejumlah terduga teroris seperti rentetan penangkapan selama momen Idul Fitri kali ini.
Setyo tak memungkiri putusan hukuman mati terhadap Aman berpotensi melahirkan orang-orang dengan ideologi serupa. Namun dia memastikan Densus Antiteror akan memantau, membuntuti, dan mengawasi terus-menerus pihak-pihak yang diduga akan melakukan teror. “Prinsip kami lebih baik ditangkap dulu daripada nanti terjadi dan menimbulkan korban,” ujarnya.
Mantan narapidana terorisme yang pernah terlibat dalam pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar, Yudi Zulfachri, menilai kelompok JAD justru akan makin kuat apabila Aman dihukum mati. Sebab, Aman merupakan ideolog utama kelompok yang berbaiat kepada ISIS tersebut. “Akan dipatenkan ideologinya jika Pak Aman dihukum mati,” ucapnya. Ia juga menyebut kunci deradikalisasi kelompok JAD adalah Aman.
Pengamat terorisme, Rakyan Adibrata, mengatakan hal senada. Menurut dia, JAD akan tetap eksis meski pemimpinnya mendapat hukuman mati. Ia mengatakan kematian Aman tak akan berimbas pada organisasi. “Karena mereka tidak membutuhkan satu pimpinan pusat untuk melakukan amaliyah,” katanya.
Rakyan menilai JAD berbeda dengan Jamaah Islamiyah, yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir. Menurut dia, di Jamaah Islamiyah, komando dari pemimpin kelompok sangat kuat. Ia menyebut pengaruh komando dari pusat hingga bawah pada kelompok tersebut sangat kuat. Sedangkan JAD, kata dia, lebih longgar.
Wakil Kepala Badan Inteligen Negara (BIN) Letnan Jenderal Teddy Lhaksmana justru meyakini hukuman mati terhadap Aman tak akan memicu pergerakan kelompok teroris lain. Namun BIN tetap akan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi. “Tetap waspada itu keharusan,” ujarnya.
Perkiraan kepolisian dan BIN terbukti. Kepolisian Daerah Jawa Barat menembak mati terduga teroris berinisial M di flyover Pamanukan, Kabupaten Subang, pada Jumat, 22 Juni 2018. Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jendral Agung Budi Maryoto mengatakan terduga teroris itu diduga termasuk jaringan JAD Haurgeulis Indramayu dan Subang. "Dia masuk dalam jaringan JAD Haurgeulis," ucapnya.
Polisi juga menembak mati AS, 28 tahun, dan AZW alias MRS, 31 tahun, terduga teroris anggota JAD, yang sedang melajukan sepeda motornya di Jalan Tole Iskandar, Kota Depok, Sabtu, 23 Juni 2018.
“Dalam proses penyergapan, terduga teroris melakukan perlawanan dengan menyerang petugas dan mengancam nyawa petugas dengan menggunakan pisau komando dan pistol,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Muhammad Iqbal kepada Tempo, Sabtu.