TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dicabut. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dinilai perlu mengkaji ulang revisi beleid tersebut.
Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Lalola Easter, mengatakan masih banyak permasalahan dalam perumusan pasal-pasal pada RKUHP, terutama terkait dengan delik-delik khusus yang dimasukkan dalam RKUHP. "Bahkan yang umum saja masih banyak permasalahan," ucapnya di Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Ahad, 3 Juni 2018.
Lalola memberikan empat catatan dari masuknya delik khusus dalam RKUHP. Pertama, inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam menentukan jenis pidana khusus yang dimasukkan dalam RKUHP. Pembuat undang-undang hanya memasukkan 14 dari 22 jenis tindak pidana khusus dalam RKUHP. Delik tersebut antara lain narkotik, kejahatan cyber, pencucian uang, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia berat, lingkungan hidup, perdagangan orang, kekayaan intelektual, pemilu, terorisme, kekerasan dalam rumah tangga, pelayaran, anak, dan konsumen.
Baca juga: 10 Alasan KPK Tolak Masuknya Delik Korupsi dalam RKUHP
Di sisi lain, tindak pidana khusus sudah memiliki aturan tersendiri. Penyelenggara bukan tak mungkin kebingungan memilih aturan mana yang akan digunakan. Lalola meminta pemerintah dan DPR mencabut pembahasan tindak pidana narkotik, korupsi, dan pelanggaran HAM berat. Begitu pula tindak pidana lingkungan hidup sepanjang pembentukan undang-undang tidak ada perbaikan dengan menyesuaikan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009.
Baca Juga:
Diskresi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal pidana juga berpotensi semakin besar. Terlebih terdapat penyesuaian sanksi pidana pada masing-masing tindak pidana utama yang diatur RKUHP dari undang-undang asal.
Kepala Divisi Advokasi Kontras Putri Kanisia mencontohkan perubahan ancaman hukuman untuk pelaku pelanggaran HAM berat. RKUHP mengatur hukuman pidana minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Padahal, dalam UU Pengadilan HAM, ancamannya minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun penjara. "Degradasi hukuman ini menurunkan derajat pelanggaran HAM yang bersifat kejahatan luar biasa," ujarnya.
Rumusan ketentuan terkait dengan pidana khusus dalam RKUHP juga belum memperhatikan elemen gender. Menurut Lalola, unsur pengakuan gender yang kuat penting dalam sistem hukum dengan corak patriarkis seperti di Indonesia. Unsur itu bisa mengakui, melihat, dan memahami keterlibatan perempuan dalam sebuah tindak pidana khusus mengandung karakteristik yang terjadi karena peran gendernya.
Catatan terakhir adalah penolakan dari berbagai lembaga negara, seperti Komisi nas HAM, KPK, dan BNN, terkait dengan penempatan tindak pidana khusus dalam RKUHP. Lalola menilai penolakan itu tanda agar pemerintah serta DPR tak mengebut pembahasan dan mempertimbangkan lagi revisinya. "Penolakan itu juga hendaknya dibaca sebagai penyangkalan atas pernyataan DPR dan pemerintah bahwa RKUHP hampir rampung," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan lembaganya akan memberi kado khusus di HUT RI ke-73 pada 17 Agustus 2018, yaitu pengesahan RKHUP.
Baca juga: Aliansi Nasional Reformasi KUHP Tolak Delik Korupsi Masuk RKUHP
"Kami melaporkan, RUU KUHP sedang berjalan. Kami targetkan untuk memberikan hadiah kepada bangsa ini tepat HUT RI. Nanti kami selesaikan ini dengan baik," ucap Bamsoet dalam acara buka puasa di rumah dinasnya, Jalan Widya Chandra III, Jakarta Selatan, Senin, 28 Mei 2018.
Menurut anggota Panitia Kerja RKUHP, Arsul Sani, beleid tersebut sebenarnya sudah selesai dibahas di tingkat panitia kerja dan tim perumus. Namun masih menyisakan beberapa item yang rumusan pasalnya belum disepakati, baik di tingkat panja maupun tim perumus.
"Saya tidak hafal semua, tapi di antaranya ada rumusan pasal terkait dengan perluasan asas legalitas, posisi hukuman mati, pasal penghinaan presiden, pasal kumpul kebo, dan perbuatan cabul sesama jenis yang dikenal sebagai pasal LGBT," ucap Arsul kepada Tempo pada Selasa, 29 Mei 2018.
Rumusan pasal lain yang belum mencapai kesepakatan, ujar Arsul, adalah soal inseminasi alat-alat kehamilan, korupsi di sektor swasta, dan kebijakan penghukuman atau pemidanaan penjara. "Inilah yang nanti kami akan selesaikan sebelum 17 Agustus," tutur anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu.