Hasil survei Indo Barometer juga menunjukkan para responden memandang 20 tahun reformasi tuntutan amanat perjuangan mahasiswa dan seluruh organ pro demokrasi saat itu kini belum sepenuhnya terpenuhi.
Baca juga: Alasan Fahri Hamzah Sebut Amien Rais Layak Jadi Bapak Reformasi
"Paling tinggi 30,3 persen publik menyatakan tuntutan amanat reformasi belum terpenuhi," Qodari. Survei ini digelar di 34 provinsi pada 15-22 April 2018. Adapun respondennya tercatat 1.200 orang dengan margin error 2,83 persen.
Sebanyak 24 persen publik ragu-ragu apakan tuntutan amanat reformasi sudah terpenuhi atau belum.
Hanya 25,7 persen yang menyebutkan tuntutan amanat terpenuhi dan sisanya 20 persen tidak tahu atau tidak menjawab.
Menurut Qodari salah satu dari tuntutan amanat reformasi yang belum terpenuhi adalah permasalahan ekonomi. "Masih adanya kesenjangan ekonomi dan pengangguran yang belum memuaskan publik sejak era reformasi," ujarnya.
Qodari menyebutkan, saat publik diminta untuk menilai perbadingan kondisi dari orde lama, orde baru dan reformasi, bidang ekonomi dan sosial pada orde baru paling tinggi dengan ekonomi 54,6 persen dan sosial 43,2 persen. Sedangkan pada orde reformasi, bidang ekonomi hanya 24,6 persen, dan sosial 20,1 persen.
Namun, lanjut Qodari mayoritas publik puas terhadap pelaksanaan reformasi, dengan angka 58,5 persen publik menyatakan puas, dan 31,3 persen tidak puas serta sisanya 10,2 persen tidak tahu atau tidak menjawab. "Meski tuntutan amanat belum terpenuhi, akan tetapi publik puas dengan pelaksanaan reformasi," katanya.
Menurut Fahri Hamzah, masih ada lubang dalam perjalanan 20 tahun reformasi Indonesia yang harus dievaluasi untuk membuat sistem pemerintahan hari ini semakin baik.
"Kita masih punya pekerjaan rumah setelah 20 tahun reformasi," ujar Fahri yang merupakan mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Salah satu yang menjadi lubang pada perjalanan 20 tahun reformasi adalah pemberantasan korupsi. Menurut dia, pemberantasan korupsi hari ini belum memberantas tuntas dan terbuka. "Masih ada kucing-kucingan," ujarnya.
Menurut Fahri pemberantasan korupsi pada amanat reformasi salah satunya adalah pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme atau KKN dengan mereformasi birokrasi sebagai salah satu syaratnya. Namun hingga hari ini, Komisi Pemberantasan Korupsi masih terus menangkapi kepala-kepala daerah dan pegawai pemerintahan.
Namun di tengah keinginan untuk memberantas korupsi, ada upaya-upaya untuk melemahkan KPK. Lembaga antirasuah yang didirikan pasca Orde Baru itu banyak mengalami serangan untuk dilemahkan.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihak-pihak yang berupaya melemahkan KPK berarti penghianat reformasi. Ia berujar KPK lahir sebagai salah satu kerja lanjutan dari reformasi itu sendiri.
"Sehingga upaya-upaya (pelemahan) itu harus diingat sebagai pengkhiantan reformasi," kata Febri dalam diskusi 20 Tahun Reformasi Lanjut Terus Berantas Korupsi di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.
Febri menjelaskan ada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yang muncul terkait semangat pemberantasan korupsi, yaitu Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Ketetapan No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Menurut Febri, dua Tap MPR itu menegaskan semangat pemberantasan korupsi dan sudah diturunkan ke dalam berbagai undang-undang. Selain itu, lewat Tap MPR tersebut lahir pula KPK.
Namun, kata Febri, salah satu poin perjuangan reformasi itu kini selalu dicoba untuk dihancurkan. Berbagai cara baik legal maupun ilegal dilakukan untuk melemahkan KPK.
"Serangan terhadap penyidik, upaya merevisi Undang-Undang KPK, termasuk revisi beberapa aturan yang seolah menyangkut prosedur tapi memiliki risiko besar, yaitu pelemahan kerja KPK," ucapnya.
Sementara itu, aktivis Gusdurian Savic Ali mengatakan untuk memperkuat semangat antikorupsi saat ini perlu membangun budaya bahwa korupsi adalah kejahatan besar yang berdampak langsung pada masyarakat. Menurut dia, sekarang banyak orang yang biasa saja melihat korupsi lantaran merasa tidak dirugikan secara langsung.
Savic mencontohkan saat awal-awal gerakan reformasi 1998 banyak masyarakat yang setuju. Belakangan mereka bergabung karena kondisi saat itu memaksanya.
AHMAD FAIZ SANI