TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menilai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sedang pasang badan untuk menyelamatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dari badai kritik pengesahan UU MD3 atau Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sebelumnya, Yasonna menyatakan tidak melaporkan materi revisi UU MD3 kepada Jokowi, terutama ihwal masuknya pasal-pasal kontroversial, sebelum aturan ini disahkan dalam rapat paripurna pada 12 Februari 2018.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Sohibul Iman, menuturkan sangat tidak masuk akal Yasonna, yang merupakan pembantu presiden, baru melaporkan perkembangan UU MD3 setelah aturan itu disahkan. “Presiden pasti sudah tahu. Menteri yang hadir di DPR itu berbekal amanah Presiden. Mereka melaporkan hasil pembicaraan, terutama hal-hal krusial,” ujarnya pada Kamis, 22 Februari 2018.
Baca: Batalkan Revisi Undang-Undang MD3
Selain itu, menurut Sohibul, UU MD3 tidak bakal bisa disahkan kalau pemerintah tak menyetujui setiap pasal. Musababnya, dalam setiap pembahasan, pasal-pasal itu bakal dibahas rinci oleh DPR dan pemerintah. “Kalau seperti ini, Presiden setuju. Kalau tidak, Presiden sudah memberi sinyal akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Kisruh berawal dari laporan Yasonna kepada Presiden Jokowi pada Selasa lalu, 20 Februari 2018. Ketika itu, menurut Yasonna, dia baru melaporkan materi hasil revisi UU MD3 kepada Jokowi. Mantan anggota DPR dari PDI Perjuangan itu mengatakan, Presiden Jokowi pun kaget dan ada kemungkinan tak akan meneken aturan tersebut.
Memang, hasil revisi UU MD3 mendapat kritik keras dari masyarakat. Sebab, pengesahan aturan untuk lingkup internal lembaga legislatif itu dinilai sejumlah kalangan menerabas konstitusi dan ketatanegaraan serta bakal membuat DPR menjadi lembaga yang punya kewenangan besar.
Ada sejumlah pasal kontroversial. Misalnya Pasal 73, yang menyebutkan DPR bisa meminta Polri memanggil paksa--bahkan dengan penyanderaan--setiap orang yang menolak hadir memenuhi panggilan Dewan. Polisi pun wajib memenuhi permintaan DPR.
Selanjutnya adalah Pasal 122 huruf (k) yang berisi tambahan tugas kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk mengambil langkah hukum terhadap siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. Serta Pasal 245, tentang perlunya pertimbangan MKD untuk rencana pemeriksaan anggota DPR yang diduga terlibat dalam tindak pidana.
Ketua Partai Demokrat, Didik Mukrianto, menambahkan bahwa dalam setiap pembahasan di tingkat panitia kerja di Badan Legislatif ataupun rapat paripurna tidak ada penolakan sama sekali dari pemerintah. Contohnya, ucap dia, dalam pengesahan pada 12 Februari lalu pun Yasonna hadir mewakili Presiden dalam pengesahan Undang-Undang MD3.
Meskipun sekarang Presiden Jokowi tak mau meneken Undang-Undang MD3 agar bisa segera disahkan, ujar Didik, setelah 30 hari atau pada 15 Maret mendatang aturan itu otomatis bisa diundangkan.
“Itulah manajerial pemerintah saat ini (tak teliti). Mengelola negara bukan seperti mengelola bisnis kayu atau bisnis katering,” kata dia.
Yasonna belum bisa dimintai tanggapan ihwal tudingan pasang badan ini. Pesan dan telepon dari Tempo hingga berita ini diterbitkan tak dibalas.
Sebelumnya, dalam rapat paripurna DPR yang mengesahkan UU MD3, Yasonna menuturkan pemerintah tak mempermasalahkan adanya sejumlah pasal krusial. “Silakan saja kalau ada masyarakat yang mau mengujinya (ke Mahkamah Konstitusi),” katanya.
Berbeda dengan pendapat Jokowi kemudian. Kepala Negara mengatakan bakal mengkaji UU MD3 hasil revisi. Menurut dia, hasil revisi menunjukkan kecenderungan Dewan untuk mencampuradukkan urusan hukum dan politik.
KORAN TEMPO