TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah akademikus dan pakar hukum akan mengajukan uji materi terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Menurut mereka, sejumlah pasal dalam undang-undang itu melanggar konstitusi dan dapat mengkriminalkan masyarakat yang mengkritik DPR.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, mengatakan lembaganya akan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. “Tapi tunggu ada nomor (undang-undangnya) dulu," kata dia seperti dimuat Koran Tempo, Rabu, 14 Februari 2018.
Pada Senin lalu, DPR mengesahkan perubahan Undang-Undang MD3. Menurut Hifdzil, sejumlah pasal dalam perubahan undang-undang tersebut berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Pasal 122, misalnya, menyatakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap perorangan, kelompok, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Bahkan Pasal 73 menyebutkan DPR berhak memanggil paksa hingga melakukan penyanderaan melalui kepolisian. ”DPR merasa tak bisa dikritik. Padahal, penyelenggara negara tak bisa menutup diri dari kritik,” ujar dia.
DPR juga memasukkan pasal yang memperkuat imunitas anggota Dewan terhadap hukum. Pasal 245 menyebutkan pemeriksaan anggota DPR dalam tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Selain Pukat UGM, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) bakal menggugat perubahan undang-undang itu. “Kami siapkan gugatan karena revisi undang-undang ini hanya memasukkan kepentingan DPR,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus.
Direktur Pelaksana The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Abraham Todo Napitupulu, menyatakan hal senada. “Ini prioritas. Kami akan gugat konstitusionalitasnya,” katanya.
Juru bicara Forum Guru Besar Antikorupsi, Asep Saefuddin, mengatakan beleid kontroversial itu bakal menjadi pasal karet karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas. Akibatnya, “Siapa pun bisa jadi korban,” kata Rektor Universitas Al Azhar Indonesia itu.
Adapun Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, mengatakan perubahan UU MD3 itu hanya bertujuan melindungi kelemahan DPR dari kritik masyarakat. “Ini reaksi temporal dari DPR yang kerap dikritik. Mereka membuat aturan tidak berpikir untuk jangka panjang,” katanya. Pakar hukum tata negara, Refly Harun, juga mendukung rencana pengajuan gugatan ke MK. “Saya siap menjadi ahli.”
Ketua DPR Bambang Soesatyo membantah jika dikatakan UU MD3 tak sesuai dengan konstitusi. “Yang tak puas dapat mengajukan keberatan ke MK,” ujarnya. Sedangkan Presiden Joko Widodo tidak bersedia berkomentar. “Nanti, ya,” ujarnya.
DANANG FIRMANTO | HUSSEIN ABRI DONGORAN | AHMAD FAIZ | FRISKI RIANA | SUNU DYANTORO