TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan data 61 juta peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak valid. Temuan ini termuat dalam laporan BPK setelah memeriksa 51 obyek, yang terdiri atas rumah sakit umum pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan kota, serta BPJS Kesehatan.
Juru bicara BPK, Raden Yudi Ramdan Budiman, mengatakan BPJS Kesehatan tak mengelola data kepesertaan secara tertib. Jika persoalan ini tak dibenahi, BPK memprediksi BPJS akan terus merugi. “Banyak ditemukan data dobel atau alamat tak ditemukan, sehingga pembayaran iuran bermasalah,” kata Raden kepada Tempo di Jakarta, Minggu, 3 Desember 2017.
Baca: Kemenkeu Suntik BPJS Kesehatan Dana Rp 3,6 Triliun
BPK juga menemukan sekitar 22 juta penerima bantuan iuran BPJS berstatus peserta tak aktif. Data peserta BPJS yang mendapat bantuan dari Kementerian Sosial juga tak sinkron dengan data dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Badan Pusat Statistik. Akibatnya, sekitar 1,4 juta peserta tak memperoleh manfaat dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS pun kesulitan merencanakan strategi bisnis, mulai perencanaan perekrutan peserta baru, proyeksi klaim, hingga program lain.
Sejumlah persoalan ini membuat BPJS tak efektif mengelola anggaran sekitar Rp 1,41 triliun dan berpotensi merugi Rp 2,79 miliar per Juni 2016. Sebelumnya, BPJS Kesehatan memperkirakan pada tahun ini akan mengalami defisit hingga Rp 9 triliun. Sejak awal berdiri, lembaga ini kelebihan beban Rp 3,3 triliun dan angka itu terus bertambah.
Juru bicara BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, menampik anggapan bahwa defisit itu akibat persoalan data peserta. Menurut dia, BPJS terus menganalisis jutaan data peserta, data klaim kesehatan, dan kontrol pelayanan. Kekurangan biaya juga sudah diprediksi sejak awal tahun saat pengesahan rencana kerja anggaran tahunan bersama dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial. "Setahun sebelum program berjalan, sudah diketahui bahwa program JKN-KIS (Kartu Indonesia Sehat) akan defisit," tuturnya.
Baca: Defisit Membengkak, BPJS Berwacana Tak Biayai Delapan Penyakit
Nopi berdalih defisit terjadi karena nilai iuran ditetapkan di bawah nilai keekonomian. Ada selisih antara penerimaan dan beban yang ditanggung. Dia mencontohkan, berdasarkan kajian, nilai aktuaria iuran untuk manfaat pelayanan kesehatan kelas III adalah Rp 53 ribu per orang per bulan. "Namun iuran yang disetujui pemerintah hanya Rp 25.500.”
BPJS sempat mengusulkan pembagian beban ongkos pertanggungan delapan jenis penyakit katastropik, di antaranya jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Tapi pemerintah menolak usul itu. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo mengatakan kekurangan biaya akan ditambal dengan 50 persen dana bagi hasil cukai tembakau. “Kami sedang menyiapkan instrumen untuk menutup defisit BPJS secara langsung,” katanya.
ROBBY IRFANY | GHOIDA RAHMAH