TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menolak usul pembentukan Densus Antikorupsi pada tahun depan. Rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Selasa, 24 Oktober 2017, menyimpulkan usul Kepolisian RI itu perlu dikaji lebih mendalam sehingga pembahasannya ditunda hingga batas waktu yang tak ditentukan.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan pemerintah tak punya cukup waktu untuk mengalokasikan dana pembentukan Densus Antikorupsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018. Selain itu, pemerintah tak ingin detasemen baru ini tumpang-tindih dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Sekarang yang kami utamakan adalah memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada, terutama KPK,” kata Wiranto seusai rapat di Istana Kepresidenan, Jakarta, seperti dimuat Koran Tempo, Rabu, 25 Oktober 2017. Dia berharap keputusan tersebut mengakhiri polemik di masyarakat.
Baca juga: Kapolri Tito Karnavian: Densus Antikorupsi Bukan Lembaga Baru
Pegiat antikorupsi ramai-ramai menuntut pemerintah agar menolak rencana pembentukan Densus Antikorupsi. Gagasan membentuk lembaga itu dicetuskan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, akhir Mei lalu. Kelompok masyarakat sipil khawatir gagasan itu merupakan bagian dari upaya parlemen menggembosi peran komisi antikorupsi.
Kekhawatiran menguat setelah sejumlah anggota Komisi Hukum menyatakan, dengan adanya Densus Antikorupsi, KPK kelak hanya akan berfungsi sebagai supervisor dan koordinator. Dengan begitu, revisi Undang-Undang KPK—dua tahun terakhir rencana ini terus dikampanyekan DPR lewat Badan Legislasi—harus dilakukan. (Koran Tempo, 17 Oktober 2017)
Dua pekan terakhir, Komisi Hukum dan Polri melanjutkan pembahasan agar densus dapat segera dibentuk dan dioperasikan tahun depan. Jenderal Tito melaporkan kajian timnya: Densus Antikorupsi akan diawaki 3.560 personel terseleksi dengan total kebutuhan anggaran Rp 2,64 triliun. Tito juga menyodorkan dua opsi sistem kerja densus, yakni satu atap atau tetap memisahkan penyidik Polri dan penuntut umum dari kejaksaan. Ahad lalu, Persatuan Jaksa Indonesia juga menyatakan menolak usul tersebut.
Menurut Wiranto, masalah koordinasi dengan kejaksaan itu pula yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk tak buru-buru mengabulkan usul pembentukan Densus Antikorupsi. “Bagaimana mengenai masalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan satu atap? Itu tentu butuh payung undang-undang,” ujarnya.
Tito mengatakan akan mematuhi perintah Presiden Joko Widodo mengkaji lebih matang rencana pembentukan Densus Antikorupsi. “Setelah dikaji, nanti dirapatkan di tingkat Menkopolhukam dengan instansi terkait, termasuk KPK dan Kejaksaan Agung,” kata Tito.
DPR Berkukuh Bentuk Densus Antikorupsi
Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat berkukuh melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan Detasemen Khusus Antikorupsi, Kepolisian RI, agar bisa bekerja mulai tahun depan. Ketua Komisi Hukum, Bambang Soesatyo, memberi tenggat kepada pemerintah yang memutuskan menunda dengan alasan perlu mengkaji lebih dalam usul tersebut. “Tidak lebih dari satu tahun,” kata Bambang di kantornya, Selasa, 24 Oktober 2017.
Politikus Golkar ini mengatakan pembahasan di lingkup internal pemerintah perlu dipercepat untuk membantu KPK melakukan tugasnya. Polri dan Kejaksaan Agung, kata Bambang, memiliki sumber daya manusia dan jaringan lebih banyak di daerah. Adapun KPK kekurangan dalam dua hal tersebut.
Selain itu, menurut Bambang, pembahasan perlu dipercepat agar kebutuhan anggaran Densus Antikorupsi sebesar Rp 2,64 triliun dapat dialokasikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2018 yang biasanya mulai dibahas April. “Bisa masuk kalau pembahasan (pemerintah) cepat,” ujar dia.
Wakil Ketua Komisi Hukum Benny Kabur Harman sependapat dengan Bambang Soesatyo. Pembenahan lembaga penegak hukum, kata dia, diperlukan untuk memudahkan koordinasi. Benny mengatakan pembentukan Densus Antikorupsi bukan hendak memberi kewenangan baru kepada polisi. “Dan ini tidak mengganggu KPK,” kata politikus Demokrat ini.
Rencana anggaran dan sistem kerja menjadi alasan utama Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda rencana pembentukan Densus Antikorupsi pada 2018. Dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin, Jokowi meminta agar usul Polri itu dikaji lagi dengan lebih mendetail.
Kemarin, rapat lanjutan untuk membahas Densus Antikorupsi di Komisi Hukum dibatalkan. Padahal Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, Jaksa Agung M. Prasetyo, serta pimpinan KPK seperti Agus Rahardjo dan Laode Muhammad telah hadir. Sebelumnya, rapat tersebut sengaja ditunda dari jadwal semula Senin lalu untuk menunggu hasil rapat kabinet terbatas.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyambut baik niat Polri untuk membantu pemberantasan praktik korupsi secara lebih masif. Menurut dia, rapat kemarin juga menanyakan sikap KPK. Hasil kajian, kata Agus, menunjukkan penanganan korupsi di banyak negara paling bagus dilakukan oleh lembaga independen. “Itu saja yang diperbesar dan diperkuat,” kata Agus.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, mengkritik sikap Komisi Hukum yang tetap mendorong pembentukan Densus Antikorupsi. Menurut dia, pesan dalam hasil rapat yang dipimpin Jokowi kemarin sudah sangat jelas, yaitu pemerintah ingin memperkuat KPK dan tak menginginkan adanya struktur baru dalam pemberantasan korupsi. “Sikap DPR yang ngotot ini semakin menunjukkan ada syahwat politik untuk melemahkan KPK,” kata Hifdzil. ISTMAN M.P. | DANANG FIRMANTO | AGOENG WIJAYA