TEMPO.CO, Jakarta - Inspeksi mendadak Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Arifin ke Kelurahan Kartini, di Jakarta Pusat, membuka modus-modus pegawai negeri memanipulasi presensi—mesin pencatat kehadiran yang menjadi tolok ukur kinerja untuk mendapatkan tunjangan. Lurah Leo Tantino terbukti memakai bawahannya untuk mengisi presensi sehingga hari kerjanya penuh meski faktanya ia berkantor selepas pukul 9.
Camat Sawah Besar Martua Sitorus menyanggah disebut kecolongan. Dia mengaku tak menyangka Leo Tantino punya modus mengakali jam kerja dengan cara seperti itu. “Kami tak mungkin memeriksa mesin presensi, karena itu urusan teknis,” ujarnya Selasa 26 Januari 2016.
Leo kini sudah dipecat dan menjadi staf di kantor Wali Kota Jakarta Pusat tanpa tunjangan. Ia meminta bawahannya mengisi presensi elektronik dengan cara memasukkan sidik jari bawahannya itu agar namanya tercatat di mesin. Padahal, menurut para stafnya, Leo Tantino selalu ke kantor siang. Karena itu, meski gajinya Rp 2 juta sebulan, plus tunjangan penghasilannya mencapai Rp 30 juta.
Modus itu diketahui ketika Arifin berkunjung ke sana dan mengecek presensi. Tak ada nama Leo dalam daftar nama pegawai Kelurahan. Ia terkejut ketika seorang pegawai harian diminta memasukkan sidik jari dan kemudian keluar nama dia. Leo pun diperiksa pada Jumat pekan lalu dan pemecatan diputuskan saat itu juga.
Kepala Inspektorat DKI Meri Ernahani mengatakan pengawasan kinerja pegawai ada pada atasan dari satuan kerja perangkat daerah. Inspektorat hanya bertindak jika menemukan keganjilan pada saat inspeksi mendadak dan mendapat laporan dari pegawai maupun dinas terkait. “Peristiwa kemarin menunjukkan bahwa atasannya kurang cermat dalam mengawasi anak buahnya,” kata dia.
Meri menjelaskan, seluruh kepala SKPD bertugas memeriksa laporan bawahan dan mengkonfirmasikan di lapangan. Kepala SKPD pun berhak menghukum bawahannya yang terbukti melanggar aturan disiplin kerja.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah Agus Suradika mengatakan saat ini pemerintah belum memasuki tahap penegakan tunjangan kinerja. Untuk mencegah adanya manipulasi presensi, Badan Kepegawaian akan bekerja sama dengan Dinas Komunikasi, Informasi, dan Kehumasan. “Tahun ini kami harus bisa memperbaikinya,” tuturnya di Balai Kota kemarin.
Agus menjelaskan, ada berbagai modus yang dilakukan pegawai negeri mengakali kinerja agar mendapatkan tunjangan maksimal. Cara tersebut, antara lain, memanipulasi presensi dan membuat laporan fiktif. Namun Badan Kepegawaian tak memiliki data persentase pelanggaran itu.
Menurut dia, seluruh pegawai DKI di berbagai lembaga memiliki potensi untuk mengakali kinerjanya. Bahkan tak tertutup kemungkinan terjadi kongkalikong antara atasan dan bawahan. Sebab, atasanlah yang akan memverifikasi laporan yang dibuat bawahannya. Modus Leo merupakan konspirasi dia dengan bawahannya.
Kendati terbukti ada manipulasi demi mendapatkan tunjangan maksimal, Agus mengklaim pemberian tunjangan kinerja berdampak positif bagi prestasi pegawai. Peningkatan prestasi, ujar Agus, terlihat dari serapan anggaran tunjangan kinerja sekitar 80-85 persen.
Selain itu, peningkatan kinerja terlihat dari adanya peningkatan kepatuhan pada presensi pegawai. “Dua indikator itu menunjukkan bahwa sistem pembayaran tunjangan kinerja dapat meningkatkan motivasi kerja,” tuturnya.
Meri Ernahani mengaku kewalahan mengawasi kinerja pegawai DKI. Sebab, saat ini hanya ada 90 auditor dan 60 pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah (PPUPD). “Idealnya, ada 400 auditor dan PPUPD,” katanya.
Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, dan Kehumasan DKI Ii Karunia siap membantu Inspektorat dan Badan Kepegawaian mengawasi kinerja birokrat Jakarta. Caranya, ia meminta Badan Kepegawaian untuk terus memperbarui data pegawai setiap kaki ada rotasi. “Kami hanya sebagai server dan mendukung dengan data,” katanya.
GANGSAR PARIKESIT