TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan seluruh gugatan nelayan Teluk Jakarta atas izin reklamasi dari Gubernur Basuki Tjahaja Purnama untuk Pulau G. Pulau ini dibuat PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro Group.
Menurut hakim ketua Adhi Budi Sulistyo, izin yang dikeluarkan Basuki alias Ahok pada 23 Desember 2014 tersebut tak punya dasar hukum, tak cermat, dan merugikan nelayan. “Pengadilan mewajibkan tergugat, pemerintah DKI, mencabut surat keputusan itu,” katanya saat membacakan putusan di Jakarta Timur, Selasa 31 Mei 2016.
Gubernur Basuki memastikan reklamasi Pulau G akan terus berjalan. “Yang dipermasalahkan hanya teknik reklamasinya,” ujarnya. Dengan putusan itu, kata dia, pemerintah beruntung karena pengelolaan pulau seluas 161 hektare yang sudah dipasarkan itu akan dialihkan ke perusahaan daerah.
Kepala Biro Hukum DKI Yayan Yuhanah sependapat dengan Basuki. Menurut dia, putusan hakim memakai penafsiran hukum berbeda. Hakim mendasarkan putusannya pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, sementara pemerintah memakai Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 sebagai dasar pemberian izin Pulau G. “Kami segera melakukan banding,” katanya.
Dalam putusan itu, hakim memerintahkan tak ada kegiatan di Pulau G sampai ada putusan tetap dari Mahkamah Agung. Tak hanya keliru soal dasar hukum, menurut hakim, izin pelaksanaan reklamasi Pulau G bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.
Hakim Adhi juga menilai keluarnya izin itu prematur karena pemerintah DKI hingga kini belum memiliki aturan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan daerah itu batal disahkan menyusul penangkapan anggota DPRD ketika menerima suap dari Podomoro untuk menurunkan kontribusi tambahan. “Penyusunan analisis dan dampak lingkungan juga tidak melibatkan masyarakat,” ujar Adhi.
Meski mengabulkan gugatan nelayan Teluk Jakarta, Adhi menuturkan, pengadilan menerima eksepsi pemerintah DKI dan Muara Wisesa Samudra yang menganggap penggugat lainnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tidak berbadan hukum. Selain itu, hakim menganggap gugatan yang diajukan mereka telah kedaluwarsa.
Kuasa hukum nelayan Teluk Jakarta, Martin Hadiwinata, mengapresiasi putusan pengadilan. Dia meminta pemerintah DKI dan Muara Wisesa mengikuti putusan tersebut.
Menurut Martin, putusan itu menjadi preseden bahwa penerbitan izin reklamasi pulau-pulau lainnya bermasalah. “Izin lainnya pun harus dicabut karena landasan hukum yang dipakai sama,” kata Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia itu.
Kuasa hukum Muara Wisesa Samudra, Ibnu Akhyat, kecewa dengan putusan tersebut. Karena itu, perusahaan akan segera melakukan banding. “Apalagi amar putusan memerintahkan pemerintah DKI mencabut izin itu,” ujarnya.
Menurut Akhyat, putusan pengadilan bertentangan dengan upaya pemerintah menarik investor. “Putusan itu juga menunjukkan adanya ketidakpastian hukum yang mengganggu iklim investasi,” katanya.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI | DANANG FIRMANTO
Baca juga:
Kivlan ke FPI: Sebelum PKI Bangkit, Kita Pukul Dulu, Perang!
Baru Berumur 13 Tahun, Izzan Jadi Peserta SBMPTN 2016
Mahasiswa UI Tewas Tergantung, Polisi Pastikan Bunuh Diri