TEMPO.CO, Jakarta -Kelangsungan proyek kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan atau biasa disebut e-KTP terancam. PT Biomorf Lone Indonesia, yang merupakan penyedia solusi sistem manajemen data e-KTP, mengklaim belum dibayar dan menolak melanjutkan layanan. “Kami meminta pemerintah membayar sebelum kami melanjutkan layanan,” kata Presiden Direktur Biomorf, Kevin Johnson, kepada Tempo, Selasa 28 Februari 2017.
Kevin mengatakan jumlah tagihan perusahaannya kepada pemerintah mencapai Rp 540 miliar. Angka ini merupakan biaya yang timbul dari sejumlah perubahan spesifikasi dan layanan tambahan pada 2014 dan 2015. “Kontrak kami dengan konsorsium hanya sampai 2012 dengan masa garansi satu tahun,” ujarnya.
Konsorsium yang dimaksudkan Kevin adalah pelaksana proyek e-KTP yang terdiri atas Perum Percetakan Negara RI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Arthaputra, dan PT Quadra Solutions. Biomorf Lone—jaringan dari Biomorf di Amerika Serikat dan India—digandeng sebagai subkontraktor setelah konsorsium memenangi tender e-KTP senilai Rp 5,9 triliun pada 2011.
Belakangan Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus megakorupsi berupa penggelembungan biaya dalam proyek tersebut dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Meski baru menetapkan dua orang tersangka bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, KPK mensinyalir uang rasuah juga mengalir ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang ikut mengegolkan anggaran. Penyidik telah menyita duit Rp 250 miliar yang sebagian merupakan pengembalian dana dari sejumlah pihak terlibat, seperti anggota DPR, pelaksana proyek, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri. (Koran Tempo edisi 27-28 Februari 2017 atau baca: KPK Sita Rp 250 Miliar Duit E-KTP)
Di tengah pengusutan korupsi, proyek e-KTP tak kunjung rampung. Proses perekaman e-KTP berhenti sejak akhir tahun lalu dengan alasan kehabisan blanko kartu. Lelang pengadaan blanko juga dibatalkan tiga kali dengan alasan tak ada perusahaan yang memenuhi persyaratan teknis.
Namun sumber Tempo mengungkapkan bahwa persoalannya bukan semata kehabisan blanko, melainkan pemerintah tersandera tagihan pembayaran dari Biomorf. “Perusahaan itu menguasai kunci ke dalam sistem. Mereka tak mau membuka jika pemerintah tak membayar tagihan,” kata dia.
Menurut Kevin, Biomorf telah membagi sebagian kode sumber e-KTP kepada Kementerian Dalam Negeri. Namun dia membenarkan bahwa perseroan masih menguasai sebagian lainnya, termasuk kata kunci ke dalam server. “Kalau sekarang ada yang merekam data di kelurahan, sistemnya tak akan bisa mengecek ada data yang sama atau tidak,” kata Kevin. Akibatnya, perekaman berhenti di luar sistem.
Baca juga: Megakorupsi E-KTP Segera Disidangkan
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Zudan, membenarkan bahwa Biomorf pernah mengirim surat perihal tunggakan pembayaran proyek. Namun dia menolak tudingan pemerintah menunggak karena dana e-KTP telah dibayarkan kepada konsorsium. “Kementerian tak pernah menandatangani kontrak dengan Biomorf,” ujarnya. Dia juga membantah proyek e-KTP berhenti. “Tinggal menunggu blanko.”
Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja, melihat persoalan yang lebih besar: keamanan data e-KTP. Seluruh informasi tentang warga negara Indonesia, kata dia, seharusnya dilindungi oleh negara. Pernyataan Biomorf bahwa mereka masih menguasai kode sumber sistem e-KTP membuat Ardi khawatir. “Apa jaminannya bahwa kode dan data di dalam sistem belum digandakan oleh pihak ketiga?” kata Ardi, yang menilai proyek e-KTP sejak awal tidak dilengkapi jaminan keamanan data.
AGOENG WIJAYA