TEMPO.CO, Jakarta - Macetnya proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) mengakibatkan pelayanan kartu tersebut di banyak kelurahan dan kecamatan kacau. Masalah blangko kartu yang kosong hingga alat perekam yang rusak ditemukan di sejumlah daerah. Warga pun cemas tak bisa memiliki kartu identitas diri yang berlaku seumur hidup itu.
Di Kota Depok, Jawa Barat, warga mempersoalkan ketiadaan formulir. Rohana Eka Silalahi, yang baru pindah dari Sumatera Utara ke Kemiri Muka, Kota Depok, misalnya, tak mendapat blangko kartu lantaran tak tersedia. Alat perekam data di kelurahan itu pun tak bisa digunakan. “Saya akan datang lagi,” kata Eka, Kamis 2 Maret 2017. “Ini merepotkan.”
Operator e-KTP Kemiri Muka, Cahyo Adi Sumirat, menguatkan cerita Eka. Ia mengatakan, Eka hanya satu dari banyak orang yang mengeluhkan tak beresnya pelayanan KTP elektronik. Warga di kelurahan itu banyak yang bolak-balik mempertanyakan nasib e-KTP mereka setelah menjalani perekaman data beberapa bulan sebelumnya. “Mereka kecewa, mukanya cemberut,” kata Cahyo.
Baca: Kisruh Korupsi E-KTP, Keamanan Data Publik Terancam
Noor Muchyadi, Lurah Gunung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, juga harus menghadapi keluhan warganya, terutama menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada 15 Februari lalu. Petugas kelurahan sampai harus menunjukkan surat pemberitahuan resmi Kementerian Dalam Negeri tentang blangko yang habis agar penduduk percaya. Secarik surat keterangan pengganti sementara KTP elektronik tak juga membuat penduduk puas menerima. Menurut Noor, baru 70-80 persen dari 8.355 penduduk dewasa yang sudah merekam data pembuatan e-KTP. “Surat keterangan dalam bentuk lembaran tak praktis dan mudah rusak,” katanya.
Di Solo, Jawa Tengah, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, Suwarto, menyatakan petugas akan terus merekam data penduduk meski tanpa blangko. Setiap hari, sekitar 60 orang datang ke kantor itu untuk perekaman data.
Baca juga:
Sistem E-KTP Disebut Terancam Lumpuh, Ini Tanggapan Kemdagri
Proyek E-KTP Terancam Mangkrak
Kisruh KTP elektronik mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan korupsi pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. Keamanan data pribadi penduduk belakangan juga dipersoalkan setelah perusahaan pembuat sistem manajemen perekaman dan penyimpanan data biometrik KTP elektronik, PT Biomorf Lone Indonesia, menolak bekerja mendukung kelancaran layanan perekaman data biometrik. Pemerintah juga menghadapi masalah lain: lelang blangko KTP elektronik yang belum kunjung digelar.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah sebenarnya pernah menggelar tender pengadaan 25,9 juta blangko e-KTP pada periode November-Desember 2016. Tapi tender itu dihentikan. “Karena lima perusahaan nasional yang ikut tak memenuhi persyaratan teknis,” kata Tjahjo. Tender dibuka lagi pada 16 Februari, tapi kembali gagal. Tender ketiga dibuka esoknya, 17 Februari 2017, dan lagi-lagi kandas. Peserta tender tak memenuhi kualifikasi teknis sertifikasi cip.
Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Agus Prabowo, menyatakan persoalan blangko habis hanya satu dari masalah besar proyek KTP elektronik. "Blangko bisa diisi data. Tapi, jika sistem dan jaringannya dipegang perusahaan swasta, itu tak ada gunanya," kata dia.
IMAM HAMDI | AHMAD RAFIQ | EGI ADYATAMA | FRANSISCO