TEMPO.CO, Jakarta - Gencatan senjata antara Israel dan Hamas sudah di depan mata, meskipun penghentian serangan itu hanya sementara untuk memungkinkan bantuan masuk ke seluruh Gaza dan korban luka-luka dibawa dari zona perang keluar negeri untuk mendapat perawatan, serta pembebasan sandera.
“Perjanjian yang diharapkan akan mencakup pembebasan sandera perempuan dan anak-anak Israel dengan imbalan pembebasan anak-anak dan perempuan Palestina di penjara-penjara pendudukan,” kata pejabat Hamas Izzat el Reshiq kepada stasiun televisi Qatar al Jazeera pada Selasa 21 November 2023.
Rincian gencatan senjata akan diumumkan oleh pejabat Qatar “dalam beberapa jam,” kata el Reshiq.
Meski tidak ada jaminan apakah gencatan senjata sementara ini bisa ditingkatkan menjadi penghentian perang permanen, setidaknya jeda serangan ini berarti banyak bagi warga sipil di Gaza yang selama enam minggu ini dihantui serangan udara membabi buta Israel dan kini ditambah serangan darat tanpa pandang bulu.
Setidaknya 13.000 warga Palestina telah terbunuh, termasuk lebih dari 9.000 wanita dan anak-anak, serta lebih dari 30.000 orang lainnya terluka. Jumlah korban belum termasuk yang dinyatakan hilang tertimbun reruntuhan bangunan dan tidak terselamatkan.
Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan Israel, mulai dari sidang Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum PBB, Organisasi Kerja Sama Islam, dan terakhir sejumlah menteri luar negeri negara-negara Arab dan Muslim beramai-ramai mendatangi anggota tetap DK PBB untuk mendorong disetujuinya gencatan senjata.
Langkah pertama mendatangi Cina dengan menemui Menlu Wang Yi dan mendapat sambutan positif.
Wang mengatakan Beijing adalah “teman baik dan saudara bagi negara-negara Arab dan Muslim,” dan menambahkan bahwa pihaknya “selalu dengan tegas mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk memulihkan hak dan kepentingan nasional mereka yang sah.”
Sejak awal permusuhan, Kementerian Luar Negeri Cina berulang kali tidak mengecam Hamas, malah menyerukan deeskalasi dan agar Israel dan Palestina mengupayakan “solusi dua negara” untuk Palestina merdeka.
Masih ada empat anggota tetap lagi yang harus didekati: Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Hanya Rusia yang tidak mendukung serangan Israel. Sehingga upaya ini juga tidak akan mudah.
Pekerjaan rumah lainnya adalah masa depan Gaza, seandainya serangan Israel bisa diakhiri. PM Israel Benjamin Netanyahu menyimpan ambisi untuk menguasai wilayah kantung Palestina itu setelah perang usai.
"Saya pikir Israel, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, akan memikul tanggung jawab keamanan secara keseluruhan karena kita telah melihat apa yang terjadi jika kita tidak memiliki tanggung jawab keamanan tersebut," katanya dalam wawancara dengan televisi AS, ABC, pada 6 November 2023.
Pernyataan bermuatan semangat penjajahan langsung mendapat reaksi keras dari seluruh dunia, termasuk sekutu terdekatnya: Amerika Serikat.
Presiden Joe Biden memperingatkan Netanyahu bahwa menduduki Gaza akan menjadi “kesalahan besar.” Solusi dua negara adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
“Saya telah menjelaskan kepada Israel bahwa saya pikir kesalahan besar bagi mereka untuk berpikir bahwa mereka akan menduduki dan mempertahankan Gaza,” kata Biden pada konferensi pers di San Francisco. “Menurut saya itu tidak berhasil."
Menurut dia, bahwa Otoritas Palestina pada akhirnya harus memerintah Jalur Gaza dan Tepi Barat setelah perang Israel Hamas.
“Saat kita berupaya mencapai perdamaian, Gaza dan Tepi Barat harus dipersatukan kembali di bawah satu struktur pemerintahan, yang pada akhirnya di bawah revitalisasi Otoritas Palestina, seiring kita semua berupaya menuju solusi dua negara,” kata Biden dalam artikel opini di Washington Post.
AS, juga negara-negara Barat lainnya, melihat Hamas sebagai kelompok teroris. Itu sebabnya, mereka berharap Otoritas Palestina kembali menguasai Gaza seperti sebelum diusir Hamas.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengindikasikan bahwa pemerintah Palestina akan bersedia kembali ke daerah kantong yang terkepung itu sebagai bagian dari penyelesaian politik di masa depan.
“Kami akan sepenuhnya memikul tanggung jawab kami dalam kerangka solusi politik komprehensif yang mencakup seluruh Tepi Barat (yang diduduki), termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza,” kata Abbas.
Namun tidak mudah menyatukan Gaza dan Tepi Barat. Sebagian besar masyarakat di Gaza sudah terlanjur anti-pati pada Otoritas Palestina.