Dari rapat itu, Nurmaya mendapatkan cerita dari Pepen mengenai janji kerja yang ditawarkan. Menurut dia, Pepen dijanjikan akan bekerja di perusahaan bidang teknologi informasi di Thailand dengan bayaran Rp 10 juta hingga 20 juta per bulan. Kontrak kerja akan berlaku selama 6 bulan dan jika para pekerja mau memperpanjang kontrak hingga 10 bulan akan mendapatkan bonus.
Kami keluarga sudah mengingatkan untuk hati-hati, tetapi mungkin karena tawaran gajinya yang besar suami saya tergiur untuk berangkat,” tutur Nurmaya.
Pada 10 Juli 2022, Pepen akhirnya benar-benar pergi menuju Thailand bersama 5 WNI lainnya. Nurmaya menceritakan ketika baru sampai di Thailand, suaminya sempat mengirimkan foto dan video rombongan sedang makan seafood.
Tetapi Thailand ternyata bukan tempat tujuan akhir rombongan tersebut. Keesokan harinya, Pepen dan kawan-kawan dijemput menggunakan mobil dan dibawa ke perbatasan Myanmar. “Tempat tujuannya itu di hutan dan jauh dari mana-mana,” kata Nurmaya.
Menurut Nurmaya, awalnya komunikasi dengan suaminya masih berjalan lancar. Begitu tiba di perusahaan tersebut, paspor suaminya langsung ditahan. Seminggu pertama Pepen dan WNI lainnya menjalani pelatihan. Setelah dua minggu, Nurmaya mengatakan Pepen baru sadar bahwa mereka telah dipekerjakan sebagai pelaku penipuan online. “Dia chat saya minta tolong lapor ke KBRI karena dipekerjakan dengan tidak benar,” ujar Nurmaya.
Pesan-pesan yang dikirim Pepen di waktu-waktu berikutnya membuat Nurmaya makin khawatir. Para pekerja di perusahaan itu, kata dia, akan dihukum apabila gagal memenuhi target kerja. Para pekerja dipaksa berlari mengelilingi lapangan bola basket di siang hari sambil mengangkat galon berisi air. Bentakan dan makian, kata dia, menjadi makanan sehari-hari yang dialami oleh suaminya. “Sepertinya dia tidak mau cerita lebih banyak, karena takut saya semakin khawatir,” kata dia.
Menurut Nurmaya, Pepen bukan satu-satunya WNI yang dipekerjakan di perusahaan itu. Setelah Pepen dan 5 WNI mulai bekerja di perusahaan itu, ada lagi rombongan WNI lain yang menyusul bekerja. “Mungkin sekarang jumlahnya 10 orang,” kata Nurmaya.
Nurmaya mengatakan Pepen hanya diberikan waktu 5 menit setiap hari untuk berkomunikasi dengan dirinya. Lambat laun, kata dia, akses komunikasi suaminya benar-benar diputus. Pepen, kata dia, hanya sesekali menghubunginya lewat nomor telepon yang digunakannya untuk melakukan pekerjaan menipu orang. “Terakhir saya komunikasi tanggal 7 Mei kemarin,” kata dia.
Menurut Nurmaya, keluarga bukannya tidak berusaha mengeluarkan Pepen. Negosiasi dengan pihak perusahaan sempat dilakukan pada November 2022. Pihak perusahaan, kata dia, meminta tebusan Rp 160 juta.
Nurmaya dan keluarga sempat berpikir untuk menjual rumah mertua guna mendapatkan uang yang cukup untuk membebaskan suaminya. Tetapi, niat itu dibatalkan karena perusahaan tidak bisa memberikan jaminan Pepen bakal dilepas setelah uang ditransfer.
Nurmaya juga mengaku sudah melaporkan permasalah suaminya ini ke pihak Kementerian Luar Negeri sejak Agustus tahun lalu. Menurut dia, pihak Kemenlu maupun Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon mengaku sudah berusaha untuk membebaskan para WNI, namun kesulitan mengingat kondisi suaminya yang berada di kawasan yang dikuasai oleh pemberontak.
Nurmaya menjadi heran ketika mendengar pemerintah berhasil membebaskan 20 WNI yang juga menjadi korban TPPO di Myanmar setelah kasus mereka viral. “Apa tidak ada pertolongan tanpa viral?” kata dia.
Kasus Berulang
Migrant Care, organisasi yang berfokus pada advokasi permasalahan pekerja migran Indonesia meyakini bahwa 20 WNI yang telah dibebaskan dari Myanmar baru sebagian dari jumlah WNI yang menjadi korban perusahaan penipuan online di Myanmar. Migrant Care meyakini bahwa masih banyak buruh migran yang belum bisa dilepaskan dari perusahaan online scam tersebut.
Staf Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Yusuf Ardabily mengatakan selama 2022 lembaganya menerima laporan ada 216 WNI yang menjadi korban TPPO di negara-negara kawasan Asia Tenggara, seperti Laos, Kamboja, Myanmar dan Filipina.
Khusus untuk Myanmar, sepanjang 2022 Migrant Care menerima 5 laporan. Yusuf melanjutkan bahwa pada 2023 jumlah laporan yang diterima oleh lembaganya bertambah. Menurut dia baru pada awal tahun ini saja, Migrant Cares sudah menerima laporan terkait 9 WNI yang menjadi korban TPPO di Myanmar. “Pak Pepen termasuk kasus yang kami terima sejak 2022,” kata Yusuf.
Menurut Yusuf, lembaganya mencatat pertama kali menerima laporan tentang WNI yang dipekerjakan ke perusahaan penipuan online pada 2022. Artinya, kata dia, tren perdagangan orang ke wilayah Asia Tenggara sebagai pelaku penipuan online mulai marak setelah pandemi Covid-19.
Dia menduga banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi menjadi salah satu faktor kasus ini muncul. Di sisi lain, kata dia, selama pandemi pula geliat masyarakat untuk melakukan investasi dimulai. Menurut dia, dua faktor tersebut memunculkan kebutuhan terhadap pekerja yang ditugasi untuk menjadi penipu online dengan modus investasi bodong.
Yusuf menilai bantuan dari pemerintah untuk membebaskan WNI yang terjebak di Myanmar masih minim. Karena itu, kata dia, banyak WNI yang akhirnya berupaya sendiri untuk bisa bebas dari perusahaan penipuan online tersebut. “Kemarin kami menerima laporan ada 5 orang WNI yang berhasil keluar setelah bernegosiasi sendiri dengan pihak perusahaan,” kata dia.
Masalahnya, kata Yusuf, tidak semua perusahaan mau diajak bernegosiasi. Dia mengatakan sebagian perusahaan penipuan online justru akan mengancam dan melakukan kekerasan ketika keluarga korban berupaya untuk bernegosiasi. Kasus Pepen, kata dia, menjadi salah satu model perusahaan itu. “Pak Pepen selama bekerja di sana itu tidak mendapatkan gaji sama sekali,” kata dia.
Menurut dia, Migrant Care memahami bahwa upaya pemerintah membebaskan WNI di Myanmar memiliki kendala khusus, yakni lokasi perusahaan yang berada di wilayah pemberontak. Karena masalah wilayah itu, kata dia, kepolisian setempat tidak bisa merangsek masuk ke wilayah tersebut.
Meski demikian, Yusuf meyakini pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan diplomasi untuk membebaskan para WNI. Buktinya, kata dia, pemerintah berhasil membebaskan 20 WNI di Myanmar tak lama setelah kasus itu viral. “Ini bukan soal kemampuan tetapi kemauan,” kata dia.
M JULNIS FIRMANSYAH I M ROSSENO AJI
Pilihan Editor: KTT ASEAN Deklarasikan Perang terhadap Perdagangan Orang hingga Penggunaan Mata Uang Lokal