Khudori juga sepakat jika impor beras bukan sesuatu yang dilarang konstitusi. Sah-sah saja mengimpor beras, sepanjang diperlukan. Namun, yang mesti dipastikan adalah jumlahnya yang terukur dan waktunya tidak meleset.
“Bukan hanya soal surplus. Benar, sejak 2018, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kita surplus produksi beras. Tapi volumenya terus turun. Dari 4,7 juta ton pada 2018, menjadi 1,34 juta ton saja pada 2022,” kata Khudori.
Merujuk data BPS, Khudori melanjutkan, pada Februari sudah mulai ada surplus hasil panen. Produksi pada bulan itu apabila dikurangi kebutuhan konsumsi sekitar 2,53 juta ton beras ada surplus 0,32 juta ton. Lalu, Maret diproyeksikan ada surplus 2,84 juta ton dan April ada surplus 1,26 juta ton beras.
Menurut Khudori, surplus pada Februari terhitung masih kecil. Tak heran, menjadi rebutan pelaku usaha, apakah penggilingan padi atau pedagang beras, untuk memastikan pengisian pipa distribusi mereka yang kerontang sejak Oktober tahun lalu.
“Jadi, wajar jika harga masih tinggi, bahkan terus naik. Ketika harga tinggi, mustahil Bulog bisa dapat gabah atau beras,” kata Khudori.
Selanjutnya: Khudori juga mengatakan....