Meski Kemnaker dan asosiasi pengusaha beranggapan aturan soal pemotongan upah untuk melindungi kaum pekerja, namun pandangan berbeda justru diungkapkan oleh sang pekerja.
Sekjen Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Emilia Yanti Siahaan menyebut Permenaker tersebut justru akan semakin merampas upah buruh yang mayoritas di bawah batas upah minimum. "Ini adalah bentuk legalisasi penurunan kesejahteraan para buruh," kata Emilia dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat pada Senin, 20 Maret 2023.
Permenaker ini, kata Emilia, secara substansi merupakan legalisasi penurunan kesejahteraan bagi buruh di lima sektor industri vital yang berpengaruh pada lebih dari 5 juta orang buruh keluarganya.
"Upah adalah hak asasi, tidak boleh dinegosiasikan, bahkan dalam kondisi apa pun. Alasan krisis ekonomi global sulit untuk dimengerti untuk melegalisasi pemotongan upah karena buruh dan anggota keluarganya justru adalah kaum yang paling terdampak krisis," kata Emelia.
Perwakilan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno mengatakan para buruh di industri padat karya sudah menerima pemotongan gaji sejak 2020. Alasan perusahaan, kata dia, adalah krisis yang dihadapi akibat pandemi dan situasi geopolitik Rusia dan Ukrania.
Selain pemotongan upah, ia mengungkapkan banyak buruh juga sudah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak tanpa bayaran pesangon yang sesuai dengan ketentuan. "Jadi Permenaker ini semakin menambah penderitaan," ucap Sunarno.
Terpisah, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai Permenaker 5/2023 tidak pro terhadap kaum pekerja, alasannya karena Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah melawan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
"Walaupun buruh menolak Perppu, tetapi dalam Perppu jelas diatur, dalam pasal tentang upah minimum dikatakan tidak boleh pengusaha membayar upah buruh di bawah upah minimum. Perppu tidak mengatur dibolehkannya menurunkan upah buruh," kata Iqbal dikonfirmasi Tempo, Minggu 19 Maret 2023.
Selanjutnya, kata Iqbal, dengan adanya pemotongan upah yang diatur dalam Permenaker tersebut, secara otomatis akan menurunkan daya beli kaum buruh. "Kalau upahnya murah, daya beli turun. Daya beli turun, konsumsi berkurang. Kalau konsumsi berkurang, pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai," kata Said Iqbal.
Iqbal setuju industri padat karya disebut mengalami kesulitan. Tetapi kalau kebijakannya memotong upah, akan memberikan multiplier effect. "Pengusaha sulit, buruh juga sulit. Kalau daya beli turun, buruh tidak bisa membeli barang yang dioroiduksi pengusaha, justru akan menghantam lebih banyak," katanya.
Alasan ketiga, terjadi diskriminasi upah terhadap pekerja. "Dalam UU Perburuhan dan Konvensi ILO No 133, tidak boleh ada diskriminasi upah. Kalau ada perusahaan padat karya orientasi ekspor dan ada yang tidak ekspor, masak didiskriminasi?" ujar Said Iqbal.