TEMPO.CO, Jakarta - China mengejutkan dunia karena berhasil mempertemukan Iran dan Arab Saudi pada Jumat pekan lalu. Kedua negara musuh bebuyutan itu, sepakat membangun kembali hubungan setelah permusuhan bertahun-tahun. Ketegangan antara kedua negara proksi Sunni-Syiah itu telah mengancam stabilitas dan keamanan di Teluk, dan membantu memicu konflik di Timur Tengah dari Yaman hingga Suriah.
Media pemerintah Iran memposting gambar dan video Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed al-Aiban, dengan Wang Yi, diplomat paling senior China, berdiri di antara keduanya.
Kesepakatan itu diumumkan setelah empat hari pembicaraan yang sebelumnya dirahasiakan di Beijing antara pejabat tinggi keamanan dari dua kekuatan saingan Timur Tengah itu. "Perjanjian tersebut mencakup penegasan mereka atas penghormatan terhadap kedaulatan negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri," demikian kesepakatan itu.
Robert Mogielnicki, peneliti senior Institut Negara Teluk Arab di Washington, DC, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kesepakatan ini adalah bukti kehadiran China yang meningkat, dan minatnya yang bertambah untuk memainkan peran di Timur Tengah.
Karena Amerika Serikat tidak memiliki hubungan baik dengan Iran, China “dalam posisi yang baik untuk menengahi kesepakatan”, katanya. “Ini adalah aktivitas yang relatif berisiko rendah dan bernilai tinggi bagi China untuk terlibat. Sebab, China tidak berkomitmen pada hasil tertentu,” kata Mogielnicki.
“Hubungan diplomatik yang lebih baik antara Arab Saudi dan Iran akan mengurangi kemungkinan konflik regional dan akan mengurangi ketegangan regional. Itu hal yang baik untuk China, untuk AS dan juga untuk aktor regional.”
Di bawah Xi Jinping, diplomasi China dikenal karena ledakan kemarahan terhadap Barat, ancaman terhadap Taiwan, tindakan agresif di Laut Cina Selatan, dan penolakan mengutuk Rusia atas invasi ke Ukraina.
Namun, kesepakatan yang dicapai di Beijing di mana kedua pihak setuju untuk membuka kembali kedutaan mereka dan bertukar duta besar setelah tujuh tahun ketegangan, menunjukkan sisi berbeda dari diplomasi China.
Xi memainkan peran langsung dalam perundingan damai dengan menjamu presiden Iran di Beijing bulan lalu. Dia juga mengunjungi ibu kota Saudi, Riyadh pada bulan Desember untuk pertemuan dengan negara-negara Teluk Arab yang kaya minyak yang penting untuk pasokan energi China.
Kesepakatan itu dipandang sebagai kemenangan diplomatik besar bagi China, terjadi ketika negara-negara Teluk Arab menganggap Amerika Serikat mengurangi keterlibatannya di Timur Tengah.
“Saya kira itu pertanda bahwa China semakin percaya diri mengambil peran lebih tegas di Timur Tengah,” kata Muhammad Zulfikar Rakhmat, akademisi Indonesia yang berafiliasi dengan Middle East Institute yang berbasis di Washington seperti dilansir ABC News, Senin.