Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyebut ada manuver besar di balik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal penundaan Pemilu 2024. Dia mengatakan manuver itu harus diselidiki dari mana sumber kekuatannya.
"Untuk itu, menghadapi manuver-manuver dengan kekuatan yang harus kita selidiki dari mana kekuatan itu, yang mencoba untuk menggunakan hukum sebagai alat yang akan merombak seluruh tatanan tatanan demokratis yang diamanatkan oleh konstitusi," kata Hasto saat memberi sambutan di acara PDIP di Taman Halaman Banteng, Jakarta, Sabtu, 4 Maret 2023.
Hasto menegaskan amanat konstitusi mengamanatkan bahwa pemilu hasil harus dijalankan setiap 5 tahun.
Hasto mengatakan ini berkaitan dengan putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU menunda Pemilu 2024. Putusan ini berkaitan dengan gugatan Partai Prima terhadap KPU. Dia menyebutkan, keputusan tersebut merupakan keputusan yang melawan amanat konstitusi.
"Ada sesuatu kekuatan besar di balik peristiwa pengadilan PM Jakarta Pusat tersebut yang mencoba untuk menunda Pemilu 2024," ujar Hasto. Dia mengatakan keputusan PN Jakpus itu sangat mengegerkan masyarakat Indonesia, dan menyebut tuntutan Partai Prima merupakan aksi sepihak.
"Adanya aksi sepihak dari satu partai, yang kita pun belum begitu kenal yang namanya Partai Prima," kata Hasto.
Hasto mengatakan Undang-Undangan Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah jelas mengatur sengketa yang berkaitan dengan partai politik dan peserta pemilu hanya dilakukan oleh Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN). "Karena Komisioner KPU adalah pejabat tata usaha negara," ucap Hasto.
Menanggapi tudingan itu, Sekretaris Jenderal Partai Prima Dominggus Oktavianus hanya menyebut langkah yang diambil partai merupakan upaya yang konstitusional yang dijamin UUD 1945.
"Semua jalur yang kami tempuh adalah konstitusional. Dan persoalan hak sipil-politik itu adalah hak asasi yang dilindungi Konstitusi dan UU No.12/2005," katanya dalam pernyataan tertulis, Ahad 5 Maret 2023.
Sikap menteri
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut PN Jakarta Pusat telah membuat sensasi berlebihan atas keluarnya vonis tersebut. Mahfud pun mengajak KPU mengajukan banding dan melawan habis-habisan secara hukum.
"Sebab secara logika hukum, KPU sudah pasti menang. Alasannya, PN tidak berwenang membuat vonis tersebut," kata Mahfud melalui akun Instagram resmi @mohmahfudmd, Kamis, 2 Maret 2023.
Dari segi hukum, Mahfud MD menjelaskan, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu sudah diatur tersendiri dalam hukum. Ranahnya pun bukan di PN. Sengketa sebelum pencoblosan—jika terkait proses admintrasi—maka yang memutus harus Bawaslu. Namun jika menyangkut keputusan kepesertaan, paling jauh hanya bisa diguat ke PTUN.
"Nah, Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara,” ujar Mahfud.
Jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka kata Mahfud, hal itu menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Mahfud menyebut pengadilan umum tidak memiliki kompetensi untuk menangani kasus tersebut.
“Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” kata dia.
Saat banyak pihak mengkritik keputusan PN Jakarta Pusat yang dirasa ngawur, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej justru tak mau banyak berkomentar mengenai hal itu. Alasannya, menurut Eddy keputusan tersebut belum inkrah atau berkekuatan hukum tetap sehingga terlalu dini untuk dikomentari.
"Kalau putusan belum inkrah maka kita tidak boleh berkomentar, ya. Itu etikanya begitu, ya. Dan saya tidak akan kasih komentar apa-apa karena putusan itu belum inkrah. Itu saja intinya," ujar Eddy saat ditemui di Kantor Kemensesneg, Jakarta Pusat, Jumat, 3 Maret 2023.
Eddy menyebut dirinya saat ini menjabat sebagai pejabat negara. Sehingga, dia merasa tak seharusnya pejabat berkomentar terhadap putusan pengadilan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Sebab, Eddy khawatir komentarnya disalahartikan hingga memengaruhi kekuasaan yang lain.
"Jadi kita harus saling menghormati sesama lembaga negara, ya. Bahwa pengadilan itu pada kekuasaan yudikatif perkara ini belum inkrah. Biarkan lah perkara itu berjalan sampai betul-betul dia sudah punya kekuatan hukum tetap baru kita berkomentar," kata Eddy.
M JULNIS FIRMANSYAH
Pilihan Editor: PSI Dukung KPU Ajukan Banding atas Putusan Penundaan Pemilu