TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2 Maret 2023 memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan penundaan Pemilu 2024 dalam gugatan perdata yang diajukan Partai Prima sebab tak lolos verifikasi parpol. Usai putusan diketok, berbagai pihak beramai-ramai mengkritik keputusan tersebut. Mereka menganggap hakim PN Jakarta Pusat telah melanggar yurisdiksi dengan memutuskan perkara yang seharusnya tak ditangani Pengadilan Negeri.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menjelaskan kewenangan Pengadilan Negeri dalam penanganan perkara perbuatan melanggar hukum (PMH) telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Pasal 10 dam Pasal 11.
Menurut aturan tersebut, jika ada pihak yang mengajukan perkara PMH ke Pengadilan Negeri, maka perkara bakal dilimpahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab, Pengadilan Negeri tak memiliki wewenang mengadili perkara jenis itu.
"Jika pun Pengadilan Negeri sudah menjalankan perkara tersebut karena luput, khilaf, misalnya, maka harus diputus tidak dapat diterima," kata Feri dalam diskusi Sabtu, 4 Maret 2023.
Feri menyebut aturan ini sudah ada dari tahun 2019 dan telah menjadi tradisi di Pengadilan Negeri untuk melimpahkan perkara PMH ke PTUN. Jika ada pemohon yang "nekat" mengajukan PMH ke Pengadilan Negeri, Feri mengatakan Pengadilan Negeri bakal menolaknya.
"Makanya aneh, tiba-tiba khusus untuk PMH ini diajukan di PN Jakarta Pusat, kemudian dijalankan bahkan diputuskan perkaranya. Jadi, ini sudah dilanggar," kata Feri.
Dianggap langgar konstitusi
Selain melanggar Yurisdiksi, Feri menyebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang menetapkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Putusan menunda Pemilu 2024 jelas bertabrakan dengan konstitusi sehingga vonis tersebut dinilai cacat.
Asal muasal vonis penundaan Pemilu 2024 ini berawal dari gugatan perdata yang diajukan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena tidak meloloskan partai baru tersebut dalam proses verifikasi. Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan gugatan tersebut, Tengku Oyong, menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi.
Oyong kemudian menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan diucapkan pada 2 Maret 2023 dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Selain penundaan, pengadilan juga menghukum KPU membayar ganti rugi materiil sebanyak Rp 500 juta. Pengadilan juga menyatakan bahwa penggugat, yakni Partai Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi.
Feri menganggap putusan tersebut ngawur dan tidak berkorelasi dengan tuntutan yang diajukan.
"Kalau memang masalahnya soal verifikasi administrasi, kalau itu masalah keperdataannya perbaiki saja itu oleh putusan peradilan. Tapi, kok tiba-tiba meloncat ke masalah hukum publik, yaitu masalah tahapan penyelenggaraan pemilu jadi dari hukum privat perdata ke hukum publik, bagaimana ceritanya?" kata Feri.
Senada dengan Feri, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga mengatakan Majelis Hakim keliru menetapkan putusan penundaan Pemilu 2024 dan menganggapnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Bivitri menyebut Pengadilan Negeri telah memutus perkara yang bukan ranahnya.
Sebab, kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu, gugatan Partai Prima merupakan ranah administrasi negara, bukan perdata.
"Aneh kalau ada unsur melawan hukum dari penguasa seharusnya dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tapi diterima di Pengadilan Negeri," ujar dia.
Bivitri memaparkan ranah perdata terikat dengan konsep privat. Sehingga, dampak putusan dari peradilan perdata seharusnya hanya boleh dirasakan oleh pihak penggugat dan tergugat, yang dalam kasus ini adalah Partai Prima dengan KPU.
"Bukan untuk umum. Jadi inilah alasan mengapa putusan ini keliru," kata Bivitri.
Kekeliruan PN Jakarta Pusat terhadap putusan itu dicurigai peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Noory Okthariza sebagai bagian dari upaya sistematis menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan Presiden. Isu penundaan ini sebelumnya telah bergulir sejak tahun lalu dan sempat didukung oleh sejumlah elite politik.
Noory menyebut kecurigaan ini muncul karena ada korelasi dari banyaknya isu penundaan pemilu yang beredar di publik dengan putusan pengadilan tersebut. Noory menyebut insiden ini semakin mengindikasikan ada upaya yang secara sistematis menginginkan penundaan Pemilu 2024.
"Saya sulit untuk tidak lihat putusan PN Jakarta Pusat sebagai bagian, dengan segala hormat, kelompok yang ingin pemilu ditunda. Kelompok ini bisa terorganisir, bisa tak terorganisir, tapi tujuannya sama, pemilu ditunda. Entah satu atau dua tahun dan seterusnya," kata Noory.
Lebih lanjut, ia mencurigai usaha kelompok yang menginginkan pemilu ditunda tak akan berhenti sampai di sini, tetapi bakal berlanjut melalui usaha amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945, menghadirkan GBHN, hingga mobilisasi kepala desa. Usaha-usaha itu semakin gencar dilakukan mengingat semakin dekatnya tahun politik.
"Makin mendekat ke tahun politik isu ini jadi komoditas untuk political bargaining. Sekali di setop muncul isu baru. Dan dinamika ini jadi bargaining isu jadi komoditas," kata dia.