"Dengan penjelasan ini, buat saya, operasi pasar dari sisi instrumen memang tidak efektif. Karena sebagai operator, Bulog menyalurkan lewat pedagang atau pengecer, yang masing-masing mereka itu akan memungut margin keuntungan," ujarnya.
Faktor lainnya yang membuat operasi pasar tidak berhasil menurunkan harga beras adalah sulitnya mengawasi pedagang atau pengecer, sehingga pelaku usaha dapat dengan mudah melanggar persyaratan yang dibuat pemerintah.
Penyelewengan-penyelewengan yang ramai disorot, ujarnya, adalah contoh riil di lapangan. Hal itu disebabkan adanya peluang atau potensi keuntungan yang besar. Ditambah potensi tertangkap aparat sangat kecil karena pengawasan yang relatif lemah.
Karena itu, menurutnya, operasi pasar akan efektif apabila beras Bulog bisa langsung tersalur dan terhubung dengan konsumen akhir. Seperti yang terjadi pada saat masih ada program beras untuk keluarga miskin (Raskin) atau beras sejahtera (Rastra).
Saat program itu masih ada, pemerintah bisa mengendalikan harga beras dengan mengucurkan beras tambahan dalam bentuk Raskin atau Rastra hingga ke 15 juta keluarga penerima manfaat. Melalui kedua program itu, harga beras stabil. Para penerima bantuan tidak lagi berburu beras ke pasar. Raskin atau Rastra saat itu juga disalurkan tepat waktu sehingga harga beras tetap dan inflasi juga terkendali.
Senada dengan Khudori, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (Core) Mohammad Faisal menilai keberadaan mafia beras merupakan masalah struktural. Menurutnya, mafia beras masih terus ada di Tanah Air karena peran Bulog dalam mengendalikan cadangan beras nasional masih kecil.
Faisal menjelaskan Bulog hanya menguasai kurang dari 20 persen cadangan nasional. Artinya, sebagian besar cadangan beras nasional atau 80 persennya dikuasai oleh perusahaan swasta. Oleh karena itu, menurut Faisal, persoalan beras di Indonesia adalah masalah yang lebih struktural.
Selanjutnya: Faisal mengungkapkan....