“Karena katakanlah setidaknya sepersepuluh dari penduduknya yang mengalami infeksi itu akan mengalami long Covid-19 dan itu menjadi beban pemerintah dan masyarakat itu sendiri karena bolak-balik kerumah sakit,” ucap Dicky.
Sementara itu, Epidemiolog dan peneliti keamanan kesehatan global dari Griffith University menanggapi soal aktivitas wisatawan Cina yang sudah diperbolehkan masuk ke Indonesia. Menurut dia, hal itu tentu ada manfaat dan mudharatnya. “Jadi itu harus disadari bahwa itu fakta, itu realitas,” tutur dia.
Ia menyebutkan tetap perlu adanya antisipasi risiko, misalnya, dengan memastikan wisatawan yang datang ke Indonesia sudah melakukan vaksinasi booster dan tidak memiliki gejala. Jika ada gejala seperti demam, batuk, dan pilek, wisatawan harus dites lebih dulu di bandara tempat mendarat. Jika terbukti positif, turis harus diisolasi.
“Jadi tesnya enggak perlu dari Cina atau Amerika Serikat, tapi ketika dia di bandara terdeteksi. Jadi skrining di bandara harus tetap. Di destinasi wisata itu juga dipastikan bahwa pelaku usaha sudah mendapat vaksinasi booster, masker punt tetap wajib dipakai,” kata dia.
Dorongan belanja wisata kian besar
Pencabutan PPKM juga diyakini bakal mendongrak belanja masyarakat yang lebih besar. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebutkan, hal itu terlihat dari bagaimana belanja yang sifatnya rekreasional seperti pergi ke pusat perbelanjaan atau mal, hingga ke taman hiburan, belakangan kembali bergeliat.
Dengan fenomena ini, ia optimistis pertumbuhan konsumsi rumah tangga terjadi sepanjang tahun. Setidaknya konsumsi masih bisa terjaga dikisaran 4,5 persen. “Dengan stabilnya pertumbuhan konsumsi, maka tekanan eksternal akibat resesi global bisa dimitigasi dampaknya ke pertumbuhan ekonomi domestik,” kata dia.
Selain itu, Bhima berujar, masyarakat juga sudah mulai menganggap Covid-19 sebagai penyakit biasa. Hal itu juga didukung dengan populasi masyarakat yang sudah divaksin booster semakin banyak. “Meski tetap harus waspada juga,” tutur Bhima.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Segara Institut Pieter Abdullah Redjalam. Ia yakin bahwa perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh di kisaran 5 persen pada tahun ini. Proyeksi tersebut sudah mempertimbangkan pandemi yang mereda, dicabutnya PPKM, dan kondisi global yang suram.
Dia menjelaskan bahwa pelambatan ekonomi atau bahkan resesi yang melanda global memang diperkirakan tidak banyak berdampak ke Indonesia. Menurut dia, ekonomi Indonesia lebih ditentukan oleh permintaan domestik khususnya konsumsi rumah tangga yang justru diyakini bangkit karena meredanya pandemi.
“Jadi dicabutnya PPKM dan kemudian adanya imlek sudah diperhitungkan dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen. Tidak mengubah menaikkan atau menurunkan proyeksi sebelumnya,” kata Pieter.
Sementara pelaku wisata PHRI dan Asita sama-sama berharap pariwisata Indonesia kembali pulih setelah dua tahun diterjang pandemi. “Karena dua tahun sebelumnya luar biasa dampaknya. Karena tamu enggak ada, tapi cost biaya tetap ada, dan terjadi peningkatan di rate-nya,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hotel PHRI, Iswandi.
Sementara Wakil Ketua Asita Budijanto berharap pariwisata Indonesia bisa diminati lebih banyak orang baik domestik maupun luar negeri. “Mudah-mudahan ancaman resesi bisa kita abaikan ya, karena kan sudah ditepis bahwa pertumbuhan ekonomi kita tetap positif di tahun ini,” tuturnya.
MOH KHORY ALFARIZI | RIRI RAHAYU | AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA
Baca juga: Bidik Turis Cina, Sandiaga Bakal Tambah Direct Flight ke Beijing, Shanghai, dan Guangzhou
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.