TEMPO.CO, Jakarta - Dengan menahan tangis, Yuni Sri bercerita soal pengalaman traumatisnya menjadi korban pelecehan seksual saat bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di salah satu apartemen di Jakarta. Pelaku, yang merupakan teknisi di apartemen tersebut, memamerkan alat kelaminnya saat tengah mengerjakan kebocoran di unit apartemen milik majikan Yuni.
Beruntung Yuni yang saat itu sedang sendirian di unit apartemen berhasil melarikan diri. Namun, Yuni mengaku tindakan pelaku sangat membekas diingatannya dan membuatnya takut pada hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.
"Sampai sekarang pun kalau saya melihat apartemen itu, saya merasa takut. Kalau lewat lift pun saya merasa takut ketemu orang itu," kata Yuni yang datang ke Gedung Tempo bersama Jala PRT pada Jumat, 20 Januari 2023.
Tak cuma pelecehan seksual, Yuni mengaku juga mengalami berbagai diskriminasi saat bekerja sebagai PRT sejak 2012. Seperti dilarang naik lift penghuni dan harus melewati lift barang saat bekerja di apartemen. Yuni menyebut ada ancaman denda sebesar Rp500 ribu jika PRT ketahuan menggunakan lift milik penghuni.
Yuni mengaku juga pernah dituduh mencuri kopi dan sabun mandi oleh majikannya, namun tindakan tersebut tidak terbukti. Ia juga pernah dilarang security duduk di atas bangku saat menunggu anak majikannya pulang sekolah dengan alasan merusak suasana.
Selama mendapat tindakan diskriminasi tersebut, Yuni mengaku tidak memiliki tempat untuk mengadu. Hingga akhirnya dia bergabung dengan Serikat PRT Sapulidi yang memilki anggota 5.400 pekerja rumah tangga. Dari serikat yang bernaung di bawah Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT ini, Yuni mendapat edukasi soal hak-hak PRT dan mendapat bantuan advokasi ketika mendapat tindakan diskriminasi dari majikan.
Salah satu kejadian yang pernah diadvokasi oleh serikat ketika Yuni mendapat pemotongan gaji hingga setengahnya. "Gaji dipotong hanya karena saya telat datang 5 menit. Tapi waktu itu teman-teman dari JALA PRT membantu advokasi," kata Yuni.
Cerita Yuni ini hanya salah satu dari sekian banyak cerita kekerasan dan diskriminasi yang pernah dialami oleh PRT. Maraknya tindak kejahatan terhadap PRT ini membuat Lita Anggraini, pendiri JALA PRT, mati-matian meminta DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). RUU ini tak kunjung disahkan menjadi Undang-Undang sejak 19 tahun lalu diusulkan oleh legislatif.
Lobi bertahun-tahun
Selama belasan tahun, Lita mengaku sudah berkali-kali melakukan lobi, audiensi, sosialisasi, demonstrasi, hingga mogok makan serta merantai diri di depan gedung DPR RI agar RUU PRT segera disahkan. Namun, hingga pergantian presiden sebanyak tiga kali, RUU PRT masih mangkrak di DPR.
Setelah menanti belasan tahun agar RUU PPRT disahkan, Lita mengaku sakit hati saat mendengar pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menyebut RUU tersebut tidak urgent. Padahal, selama 19 tahun menunggu pengesahan tersebut, Lita menyebut banyak PRT yang mengalami penyiksaan keji hingga kehilangan haknya.
"Adanya korban 19 tahun ini dianggap apa? Orang-orang yang tidak dibayar ini dianggap apa? Orang-orang yang tidak dibayar ini dianggap sampai dibilang tidak butuh (dengan RUU PRT)," ujar Lita dengan nada geram.
Lita mengaku bakal melakukan aksi mogok makan kembali jika pemerintah masih tak kunjung menetapkan RUU PRT. Dalam aksi mogok makannya di tahun 2015, Lita melakukannya hingga 45 hari.
Sementara itu, Eva Sundari, mantan anggota DPR yang juga anggota Koalisi Sipil untuk RUU PPRT, menyebut negosiasi dengan DPR membuat draf perlindungan pekerja rumah tangga mengalami banyak revisi dan penyederhanaan.
Eva menyebut awalnya RUU PRT mengikuti standar Konvensi ILO 189 tentang perlindungan pekerja domestik. Beleid itu menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip mendasar, dan mengharuskan negara mengambil serangkaian langkah dengan tujuan menjadikan kerja layak sebagai sebuah realitas bagi PRT.
Namun setelah melewati negosiasi yang alot selama belasan tahun, akhirnya draf RUU PPRT yang ada saat ini hanya mengatur perlindungan dasar untuk para PRT. "Jadi ini bukan sesuatu yang harus ditakutkan, malah justru harus didukung. Gak ada yang perlu dikhawatirkan dari UU ini," ujar Eva.
Rencana aksi besar
Pada Hari Nasional PRT di 15 Februari 2023, sejumlah organisasi perempuan berencana menggelar aksi besar untuk mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT. Direktur Institut Kapal Perempuan, Missiyah akan menggerakkan jaringannya di 9 propinsi agar menyelenggarakan aksi-aksi termasuk melakukan siaran-siaran terkait isu PPRT melalui radio komunitas.
Sementara, Institut Sarinah akan mengorganisasi penulisan opini di berbagai media cetak maupun digital. Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia/KPI akan menggerakkan jaringan milenialnya untuk memproduksi konten berisi sosialisasi RUU PPRT untuk edukasi publik.
Selanjutnya, Vera dari LSM Rahima mewakili Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan bekerjasama dengan KOWANI untuk menyelenggarakan istiqosah kubro secara hibrid dengan peserta seluruh penjuru Indonesia.
"Kami bukan saja menargetkan ponpes-ponpes dan para ulama perempuan tetapi juga masyarakat umum bisa ikut karena akan ada juga sosialisasi isi RUU PPRT," kata Vera.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah akan mengorganisir pawai bertema #RevolusiMentalSahkanRUUPPRT pada momen car free day. Pawai akan melibatkan para pihak terkait yaitu menteri-menteri KPPPA, Kemenaker, Kemenkumham, artis, aktivis dan para PRT sendiri. Pawai yang ditujukan untuk mengapresiasi peran para pekerja domestik laki dan perempuan akan diselenggarakan pada tanggal 12 Februari 2023.
Peserta aksi diharapkan berkostum ala PRT atau membawa alat-alat kerja PRT. "Dari perspektif HAM, UU PPRT merupakan bukti bahwa Revolusi Mental kita laksanakan," kata Anis Hidayah.
Eva Sundari mengharapkan kampanye sebulan bukan saja untuk memberikan semangat kepada DPR agar segera menjadikan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR tetapi juga untuk masyarakat luas.
"Masih banyak yang menolak karena salah mengerti akibat asumsi yang sebenarnya tidak ada di materi RUU PPRT. "Tidak ada yang perlu ditakuti karena isi RUU berupa ajakan menuju Kebaikan bagi semua pihak. Bukan saja untuk kebaikan PRT, tetapi juga untuk keuntungan bagi pemberi kerja," kata Eva Sundari.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.