Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menyebut alasan penerbitan Perppu Cipta Kerja ini menggambarkan pola pikir yang benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil. Ia menyoroti dua kesalahan dari segi hukum.
Pertama, Putusan MK Nomor 91 Tahun 2020 yang memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sampai 25 November 2023 atau 2 tahun setelah putusan dibacakan. "Artinya, bahkan UU itu tidak bisa dilaksanakan, tidak punya daya ikat, jadi buat apa keluarkan Perpu untuk revisi sebagian ini?" kata dia.
Sehingga, Bivitri menyebut penerbitan Perppu ini menguatkan dugaannya bahwa pemerintah memang mengabaikan putusan MK. "Serta melaksanakan terus UU Cipta Kerja itu," ujarnya.
Kedua, Bivitri menyebut tidak ada kegentingan memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur soal Perpu, maupun seperti yang ditetapkan dalam Putusan MK Nomor 139 tahun 2009.
"Jelas-jelas saat ini hanya sedang liburan akhir tahun dan masa reses DPR, tidak ada kegentingan memaksa yg membuat presiden berhak mengeluarkan Perpu," kata dia.
Untuk itu, Bivitri melihat Jokowi ingin mengambil jalan pintas dengan penerbitan Perppu. "Supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi," kata dia.
Adapun dalam pertimbangan pemerintah, Mahfud Md menyebut ada kebutuhan mendesak sehingga Perppu tersebut terbit. Dalam tata hukum Indonesia, Perppu pun statusnya setara dengan UU.
"Menurut ilmu hukum di manapun, hampir seluruh ahli hukum sependapat, keadaan mendesak itu adalah hak subjektif presiden, itu adalah kunci utama untuk dikeluarkannya Perppu," kata Mahfud.
Bivitri menyebut keadaan mendesak memang hak subjektif presiden. "Tapi tetap harus bisa diukur dong, kan kita negara hukum. Bukan berarti titah presiden itu hukum," ujarnya.
Bivitri juga menyoroti alasan pemerintah bahwa perang memunculkan ekses ekonomi, sehingga dianggap sebagai situasi genting. Kalaupun situasi ini dianggap urgen untuk penerbitan Perppu, Bivitri menilai langkah pemerintah tetap keliru. "Karena tetap bisa menunggu sampai DPR sidang lagi, atau minggu depan dipanggil duluan kan sudah awal Januari," kata dia.
Bivitri juga menyebut situasi genting yang akhirnya membuat DPR dan pemerintah tak bisa bersidang juga tidak ada. Bahkan kalau disebut alasan krisis ekonomi akibat perang, Bivitri pun menyebut Indonesia tidak mengalami langsung perang itu.
Kalau pun pemerintah berasalan Perppu Cipta Kerja ini menjawab Putusan MK, lagi-lagi Bivitri menyebut hal tersebut keliru. Sebab, putusan MK adalah hasil uji formil yang menekankan metode omnibus dan partisipasi bermakna.
"Nah adanya Perppu justru makin meminggirkan perintah MK itu yang soal partisipasi," kata dia.
Sesuai regulasi, DPR harus membahas Perppu ini nantinya ketika sudah masa sidang usai reses. DPR pun punya kuasa untuk tidak sependapat dengan Jokowi. "Bisa menolak, tidak harus menerimanya," kata dia.
Selanjutnya, demi kepastian hukum untuk investor