TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Jokowi berancang-ancang melarang penjualan rokok eceran atau rokok batangan mulai 2023 mendatang. Rencana itu disebutkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah. Salah satunya adalah agar bisa menekan prevalensi perokok usia 10-18 tahun atau perokok anak yang angkanya terus melonjak tajam.
Namun sejatinya pelarangan atas penjualan rokok batangan itu belum ada. Melalui Keputusan itu, pemerintah baru akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Baca: Per 2023, Jokowi Akan Larang Penjualan Rokok Eceran
"Peraturan tentang pelarangan penjualan rokok itu belum ada. Jadi baru rencana dan prosesnya itu masih panjang, karena proses revisi PP itu sebetulnya sudah sejak tahun 2018," ucap Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari saat dihubungi Tempo pada Kamis, 29 Desember 2022.
Darurat perokok anak
Sementara berdasarkan pengamatan Yayasan Lentera Anak, kondisi perokok anak di Tanah Air sudah sangat genting. Bahkan ia menyebut saat ini sudah darurat perokok anak. Yayasan yang fokus mengamati kesehatan anak itu mencatat, dalam 10 tahun terakhir prevalansi perokok anak terus meningkat.
Perokok anak meningkat dari 7,8 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2019. Sementara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2019, pemerintah telah menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 5,4 persen.
Artinya, target tersebut tak juga tercapai. Kemudian pemerintah dalam RPJMN 2020-2024 menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen.
Menurut Lisda, kenaikan angka perokok anak terus terjadi setiap tahunnya lantaran akses anak-anak terhadap rokok begitu mudah. Kenaikan tarif cukai dinilai tak terlalu mempan karena warung-warung di sekitar rumah hingga sekolah anak-anak menjual rokok secara eceran dengan harga yang murah. Sehingga dirinya amat mendukung niat pemerintah untuk melarang penjualan rokok batangan.
Lebih jauh, Lisda mengungkapkan penurunan prevalensi perokok anak tidak bisa dicapai hanya dengan membatasi aksesnya, tetapi juga melalui pelarangan iklan rokok. Pasalnya, iklan yang ada memperlihatkan rokok sebagai produk yang normal dan tidak berbahaya sehingga membuat anak-anak terbujuk.
"Jadi kalau pemerintah memang berniat mengurangi atau menurunkan preverensi perokok anak, memang dibutuhkan aturan yang komperhensif," ujarnya.
World Health Organization (WHO) sendiri merekomendasikan empat regulasi yang harus dimiliki tiap negara untuk menekan peningkatan jumlah perokok, yaitu pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok, lalu penyediaan kawasan tanpa rokok, edukasi melalui gambar peringatan bahaya rokok yang besar, dan kenaikan cukai rokok yang tinggi.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdillah Ahsan pun mengungkapkan hal yang senada. Ia berujar prevalensi merokok anak terus meningkat dari hasil berbagai survei. "Kondisi perokok anak sangat darurat," kata dia saat dihubungi pada Kamis, 29 Desember 2022.
Menurut Abdillah, rencana pemerintah melarang penjualan rokok eceran sangat patut diapresiasi, walaupun masyarakat hasih harus menunggu realisasinya dalam bentuk perubahan PP Nomor 109 Tahun 2012. Ia memperkirakan pelaksanaan larangan ini masih lama karena pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) Nomor 109 tahun 2012 baru terjadi pada 2023.
Selanjutnya: Jika prosesnya lancar,...