Setah mendapat surat dari Kementan, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas bersama Satgas Pangan mengecek ke lapangan untuk memverifikasi data yang dikirimkan Kementan. Hasilnya menunjukan data tersebut tak sejalan dengan yang ada di lapangan. "Sebenarnya saya maunya terima beras, bukan terima data. Saya cek di lapangan enggak ada," kata dia dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPR RI di Jakarta pada Rabu, 7 Desember 2022.
Ia tak menampik berdasarkan data, memang hasil panen mencukupi kebutuhan domestik. Buwas pun yakin data yang ada di Kementan atau Badan Pusat Statistik (BPS) sama. Tapi menurutnya stok yang siap diserap oleh Bulog tidak mencukupi. Pasalnya, pihak penggilingan tak berani membuat kontrak penjualan kepada Bulog sebanyak itu.
Contohnya, kata Buwas, ada penggilingan yang disebut memiliki stok sebanyak 30 ribu ton, tetapi ketika diverifikasi hanya memiliki stok 3 ribu ton. "Jadi kita cek ulang, soalnya siapa tahu dia (penggilingan) yang bohong," tuturnya.
Selain stok yang terbatas, menurutnya harga di pasar juga tidak memungkinkan. Buwas merujuk pada data BPS yang mencatat harga beras medium di penggilingan pada November 2022 sebesar Rp 10.112 per kilogram. Sementara beras premium seharga Rp 10.512 per kilogram. Kemudian harga gabah kering giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp 5.900 per kilogram. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga beras impor yang berkisar Rp 8.500 sampai Rp 9 ribu per kilogram, bergantung pada jenis dan kualitasnya.
Ia membeberkan ada pihak yang menyuruh penggilingan menaikan harga. Misalnya, ketika penggilingan sudah meneken kontrak dengan harga Rp 10.200 per kilogram, penggilingan tiba-tiba menaikan harga menjadi Rp 11 ribu per kilogram. Namun Buwas enggan membocorkan siapa pihak yang menyuruh menaikan harga beras itu.
"Ya nanti saja lebih baik itu disikapi oleh hukum. Karena Satgas Pangan sudah mencatat, rekamannya pun sudah ada," kata dia.
Karena itu, Bulog bersama Satgas Pangan akan mengusut soal data beras ini. Dia berjanji akan memonitor ke lapangan, mewawancarai pihak penggilingan di seluruh wilayah dan merekamnya. Ia baru akan membeberkan lebih jauh setelah survei itu selesai.
"Nanti kalau saya yang cerita sekarang disangka cari pembenaran, nanti saya rekam. Nanti mereka ditanya lalu kita dengarkan. Bahkan harga berasnya (di penggilingan) itu ga masuk akal," kata dia.
Saat dimintai konfirmasi, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo enggan menanggapi soal impor. Menurut dia, impor bukan ranah dari Kementerian Pertanian. Namun, dirinya juga tak mau menanggapi soal ketidaksesuaian data yang diberikan Kementan dengan yang ada di lapangan seperti laporan Bulog. Syahrul tetap kukuh bahwa jumlah hasil produksi pada 2022 adalah yang paling tinggi ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Menanggapi kisruh soal data beras ini, Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya buka suara. Kepala BPS Margo Yuwono menuturkam produksi beras pada 2022 masih mencukupi jika dibandingkan dengan perkiraan konsumsinya.
"Sehingga kalau kita kalkulasi selama setahun, jumlah produksi beras itu sebetulnya cukup. Jadi beras itu dalam negeri cukup. Kalau dari produksi dan perkiraan konsumsinya," tutur Margo saat ditemui di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat pada Senin, 5 Desember 2022.
Meski mencukupi, Margo menjelaskan permasalahan beras terjadi karena panen raya yang berlangsung pada Maret hingga April 2022 hanya terjadi di beberapa wilayah saja. Tidak semua provinsi merupakan sentra produksi padi. Sehingga pemerintah perlu mengelola penyaluran dari wilayah yang surplus ke wilayah yang kekurangan pasokan beras.
Persoalan lainnya, Margo menilai pengelolaan stok beras domestik masih perlu dibenahi. Saat panen raya, seharusnya Bulog melakukan penyerapan sebagai cadangan beras pemerintah. Agar pada masa gagal panen, stok itu bisa dimanfaatkan dan bisa didistribusikan ke masyarakat.
Selanjutnya: 60 sampai 63 persen stok beras berada di masyarakat, maksudnya?