TEMPO.CO, Jakarta - Uni Eropa dan G7 pada 5 Desember 2022 secara resmi memberlakukan patokan harga atau batas harga (price cap) pada minyak Rusia sebesar USD 60 per barrel (Rp 930 ribu) sebagai bagian dari upaya menggerus revenue Rusia dan mengurangi kemampuan Rusia dalam membiayai perang Ukraina. Harga minyak mentah Rusia saat ini USD 64 per barrel.
Bukan hanya itu, Rusia juga tidak diperbolehkan menggunakan jasa kapal dan asuransi asal negara-negara Eropa dan anggota G7 dalam mengirimkan minyaknya.
Gertakan dari Uni Eropa dan negara anggota G7 itu, ditantang oleh Rusia. Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak pada Minggu, 4 Desember 2022, memastikan Rusia tidak sudi menjual minyaknya pada harga yang dipatok oleh Uni Eropa dan G7 sebesar USD 60 per barrel. Moskow saat ini sedang menggodog mekanisme untuk melawan patokan harga tersebut atau price cap.
Menanggapi kondisi ini, dua orang sumber di produsen minyak Rusia mengatakan output minyak Rusia pada awal 2023 bisa turun 500 ribu sampai 1 juta barrel per hari setelah Uni Eropa memberlakukan larangan impor lewat laut per 5 Desember 2022.
Baca juga:Mengulik Penyebab PHK Massal di Amazon
Alexei Kokin, broker atau pialang minyak dari Otkritie membenarkan kebijakan negara-negara Barat akan berdampak pada output minyak Rusia.
“Ini kira-kira sama dengan volume suplai lewat laut ke negara anggota Uni Eropa dalam beberapa pekan terakhir. Saya kira para produsen minyak Rusia tidak akan bisa menjual minyak-minyak ini ke tempat lain,” kata Kokin.
Ekspor minyak mentah, gas dan produk-produk minyak lainnya, telah menyumbang sebagian besar pada revenue Rusia. Saat ini terdapat gangguan sangat tinggi dalam hal poduksi dan penjualan menyusul sanksi-sanksi yang dijatuhkan negara-negara Barat dan sekarang ditambah pemberlakuan price cap atau patokan harga minyak Rusia pada pasar internasional.
Revenue Rusia dari sektor minyak dan gas sudah berkurang sampai lebih dari satu pertiga dalam 10 bulan pertama 2022 ini. Sebelum konflik Ukraina meletup pada 24 Februari 2022, ekspor minyak dan produk minyak Rusia sekitar 8 juta barrel per hari.
Uni Eropa adalah pembeli minyak dan produk minyak Rusia terbesar. Organisasi terbesar di Benua Biru tersebut sudah memangkas pembelian ke Rusia sebagai bentuk protes atas perang Ukraina. Namun Moskow tak hilang akal. Negara Beruang Merah tersebut sukses mengalihkan pasokan ke kawasan Asia dan ekspor pun hanya turun sedikit menjadi 7,6 juta barrel per hari.
Lalu, dengan adanya penerapan patokan harga minyak Rusia oleh Uni Eropa dan G7 yang tak boleh lebih dari USD 60 per barrel, akan seperti apa dampaknya?
Di antara importir minyak Rusia terbesar adalah Cina dan India, di mana kedua negara tersebut tidak menjadi bagian dari inisiatif G7 dan Uni Eropa. Moskwo berkeras tak akan sudi mengirimkan minyaknya pada negara-negara yang tunduk pada aturan price cap Uni Eropa dan G7.
Aturan price cap dari Uni Eropa dan G7 masih membawa ketidak pastian apakah perusahaan jasa pengiriman dan perusahaan asuransi bisa mendistribusikan minyak Rusia ke berbagai belahan dunia dengan harga minyak yang dibeli diatas price cap atau lebih dari USD 60 per barrel.
Sejumlah analis mengatakan mengkoordinir tantangan seperti ini membutuhkan waktu dan bisa menyebabkan gangguan lain. Bank asal Amerika Serikat, JPMorgan melihat dampak pemberlakuan price cap diredam oleh Rusia dengan menggunakan kapalnya sendiri, kapal tentara Cina dan India.
Beberapa analis melihat dampak lain. Kirill Melnikov, analis dari Centre for Energy Development, memperkirakan kapasitas produksi minyak Rusia akan mengalami penurunan 1.0 sampai 1.5 juta barrel per hari pada Januari 2023 dibanding pada November 2022.
Sedangkan Badan Energi Internasional memprediksi output minyak mentah Rusia bisa anjlok sampai 2 juta barrel per hari pada akhir kuartal pertama 2023 kendati larangan untuk produk minyak Rusia baru berlaku mulai 5 Februari 2023.
Semakin besar minyak Rusia yang hilang di pasar dunia, maka dampaknya akan semakin besar pula pada harga barang-barang. Pemberlakuan patokan harga pada minyak Rusia bisa menjadi senjata makan tuan pada konsumen di negara-negara Barat, yang saat ini sedang menghadapi tingginya inflasi dalam puluhan tahun terakhir. Sebagian besar inflasi dipicu oleh harga energi.
“Saat penurunan ekspor lebih besar dari yang diperkirakan, dampaknya akan membuat anggaran pengeluaran akan naik menyusul adanya kenaikan harga. Dengan begitu, revenue negara tampaknya tidak akan tergerus secara signifikan,” kata Igor Galaktionov, pialang dari BCS Mir Investitsiy.
Negara-negara anggota Uni Eropa pada Kamis, 1 Desember 2022, setuju untuk membuat patokan harga pada minyak mentah Rusia tidak boleh lebih dari USD 60 per barrel. Mekanisme penyesuaian akan menyesuaikan, namun tetap harus 5 persen di bawah harga pasar. Sebelumnya G7 mengajukan proposal agar minyak mentah Rusia dibandrol tidak lebih dari USD 65 – USD 70 per barrel.
Sumber: Reuters
Baca juga: Prediksi, Statistik, dan H2H Portugal vs Swiss di 16 Besar Piala Dunia 2022
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini