Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Rahdi meminta Presiden Jokowi tak hanya mengandalkan skema pendanaan JETP. Dia mengatakan pemerintah masih membutuhkan ongkos jumbo untuk merealisasikan mimpi mencapai net zero emission atau NZE pada 2060 atau lebih cepat.
"Komitmen dari JETP itu tidak cukup. Kita tetap harus mengharapkan investor masuk karena transisi energi butuh Rp 500 triliun lebih, sedangkan komitmen JETP sekitar Rp 311 triliun," ujar Fahmy saat ditemui di Departemen Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta, 21 November lalu.
Fahmy menuturkan, kendati komitmen ini memberikan kepastian Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi yang lebih murah, sifat kemitraannya tidak mengikat. Artinya, Indonesia bisa membatalkan atau menolak menerima bantuan bila pinjaman yang dikucurkan koalisi negara maju atau lembaga keuangan internasional memberatkan, khususnya dari sisi bunga utang.
"Jadi tinggal bagaimana kita melobi mendapatkan bunga murah. Saya kira kalau beban bunganya terlalu besar, ya tidak usah diambil," kata Fahmy.
Sebagai upaya mencari jalan lain untuk meningkatkan pembiayaan transisi energi, Fahmy menuturkan pemerintah harus menawarkan insentif yang menarik bagi investor energi baru terbarukan (EBT). Misalnya, melonggarkan bea masuk atau membebaskan pajak komponen yang mendukung pembangunan infrastruktur EBT.
"Investor ini kan berpikir profit. Jadi ya harus ada jaminan itu," ucapnya.
Dia yakin industri EBT di Indonesia merupakan sektor yang menarik bagi para pemodal. Musababnya, Indonesia memiliki pasar pengguna energi yang besar lantaran jumlah penduduknya mencapai 270 juta jiwa. "Size pasar itu besar dan menarik investor. Hanya, investment expentidure dan operasional expenditure belum mencapai keekonomian kalau untuk saat ini," ucap Fahmy.
Namun ia meyakini, pemerintah bakal memperhitungkan kemampuan pembayaran bunga utang. "Bunga itu ada bunga komersial yang berlaku di pasar, misalnya bunga yang berlaku di New York 6 persen, kita minta soft loan paling tidak 3 atau 4 persen paling tinggi."
Fahmy melanjutkan, lobi-lobi dalam memperoleh pendanaan transisi energi dengan skema JETP bakal berjalan sangat transasional. Menurut dia, Indonesia bisa memilih untuk tidak menerima pinjaman jika bunga yang dipatok pemberi dana setara—atau malah lebih besar—dari bunga komersial.
"Tapi dalam target transisi energi untuk mencapai zero karbon 2050 atau 2060 kan sudah fix, jadi saya rasa dengan komitmen bersama ini, negara-negara maju akan membantu (Indonesia)," kata Fahmy.
Baca Juga: Jokowi Diminta Tak Hanya Andalkan Pembiayaan Transisi Energi dari JETP
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.