Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim Indonesia telah menjadi salah satu negara dengan ekonomi yang kuat di dunia. Meski tengah berada di tengah ancaman global, ia yakin bangsa Indonesia kompak menghadapi kondisi ekonomi yang sangat krusial.
"Kita bersyukur sampai hari ini dengan kepemimpinan Presiden Jokowi kita masih mampu meredam keadaan ini, tapi pertanyaannya berapa lama kita bisa?" ucapnya.
Luhut optimistis krisis global atau disebut 'Perfect Storm' itu akan terjadi. Namun, tuturnya, dengan modal yang dimiliki Indonesia sekarang, perekonomian negara masih kuat menghadapi tekanan resesi global. Ia percaya pada ramalan yang menyatakan Indonesia akan menjadi salah satu dari empat besar ekonomi dunia pada 2045-2050.
Adapun Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta W. Kamdani menilai, seharusnya di tengah kondisi ini pemerintah mengkhawatirkan stabilitas dan produktivitas seluruh ekonomi nasional di tahun depan.
"Karena resesi global yang diproyeksikan terjadi di 2023, akan dialami oleh sebagian besar ekonomi dunia mulai dari Amerika, Eropa, China, hingga Jepang yang semuanya adalah rekan dagang maupun investasi besar untuk Indonesia," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 27 September 2022.
Ia berujar meski secara analisis ekonomi, risiko Indonesia mengalami krisis yang sama cukup rendah. Meskipun stabilitas dan produktivitas ekonomi Tanah Air akan tertekan. Di satu sisi, efek inflasi yang di atas rata-rata pada tahun ini akan menambah beban biaya usaha maupun daya beli masyarakat pada 2023 nanti.
Menurut Shinta, tekanan-tekanan itu akan dirasakan semua sektor ekonomi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya di sektor industri serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)akan melambat.
Di sisi lain, ancaman resesi global pada 2023 juga akan menekan produktifitas ekspor, khususnya ekspor produk manufaktur dan produk bernilai tambah yang sifatnya ‘consumer goods’. Ia memprediksi produk ekspor tersebut pun akan mengalami krisis dan semakin menjadi beban tambahan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
"Ini pun dengan asumsi kita bisa menjaga stabilitas makro ekonomi nasional sepanjang krisis global di 2023," tuturnya.
Jadi, ucap dia, yang terpenting bagi pengusaha adalah upaya pemerintah untuk terus menjaga kestabilan ekonomi nasional. Pemerintah juga harus menciptakan respon kebijakan fiskal dan makro prudential yang responsif terhadap potensi tekanan-tekanan eksternal dari krisis ekonomi, yang kemungkinan akan dialami oleh sebagian besar negara partner dagang maupun investasi penting Indonesia.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menegaskan tahun depan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terjun di bawah 5 persen. Sebab, ancaman resesi global ini, menurutnya, cukup nyata dan berdampak satu pada neraca perdagangan yang selama ini ditopang oleh harga komoditas yang naik.
"Dengan resesi, permintaan bahan baku industri berarti menurun. Ini akibatnya terjadi penurunan dalam harga komoditas ekspor unggulan dan bisa menyebabkan tekanan pada sisi ekspor," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 27 September 2022.
Kemudian ancaman terhadap realisasi investasi. Ia berujar selain melihat efek dari naiknya harga BBM terhadap inflasi, yang bahkan tahun ini melebihi pertumbuhan ekonomi, itu berarti secara riil sudah terjadi tekanan. Investor akan masuk kepada aset-aset yang lebih aman.
Sedangkan untuk investasi langsung, tutur Bhima, terjadinya inflasi membuat permintaan konsumen lebih rendah dari proyeksi awal. Ditambah rencana bisnis yang berubah. Pemodal juga mencermati efek kenaikan tingkat suku bunga.
Kalau suku bunga acuan naik secara agresif untuk menaikan inflasi, maka biaya pinjaman bagi sektor investasi pun akan melemah. Pertumbuhan kredit bisa terkoreksi dan hal itu, menurut Bhima, bisa mengganggu realisasi investasi langsung. Ditambah 2023 merupakan tahun politik. Sehingga resiko politik juga membuat pelaku para pelaku usaha menghindari ekspansi.
Bhima menegaskan ancaman resesi yang terjadi di Inggris, kawasan Eropa, Amerika, bahkan Cina yang sedang bermasalah karena zero Covid policy dan bubble sektor properti itu, bisa menjalar dan berdampak kepada tekanan ekonomi domestik.
"Jadi sekarang dibandingkan pemerintah hanya memberi sinyal bahwa ada ancaman resesi dan membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebenarnya hanya terbantu dengan komoditas, yang diperlukan ini kan kebijakan-kebijakan apa," ucap Bhima.
Seharusnya, tutur Bhima, jika terdapat ancaman resesi ekonomi, pemerintah harus menambah subsidi energi. "Harga BBM harusnya dijaga, bukan dinaikan," kata dia. Tarif pajak untuk PPN juga perlu diturunkan dari 11 persen menjadi 8 atau 7 persen. Tujuannya, agar ada relaksasi pada konsumsi masyarakat. "Bukannya pajaknya semakin mengejar, khususnya kelas menengah," ucapnya.
Kemudian pemberian subsidi di sektor perumahan, FLPP, subsidi uang muka, agar sektor properti tidak terdampak terlalu dalam dari kenaikan suku bunga. Begitupun dengan kendaraan bermotor, menurutnya, pemerintah seharusnya banyak memberikan relaksasi juga. Selanjutnya sektor perbankan yang memiliki exposure dan resiko dari efek resesi ekonomi global ini.
"Konglomerasi keuangan di Indonesia juga perlu diawasi secara ketat, karena kita tidak ingin kasus Century itu terulang kembali," ujar Bhima. Resesi secara global, dapat berimbas pada gagalnya pembayaran perbankan dari sektor keuangan. Jadi, kata dia, protokol krisisnya juga harus segera dinyalakan.
RIANI SANUSI PUTRI | ARRIJAL RACHMAN | MOH KHORY ALFARIZI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini