TEMPO.CO, Jakarta - Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan kenaikan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen pada Selasa kemarin, 23 Juli 2022. Kenaikan suku bunga acuan ini menjadi yang pertama kalinya setelah 18 bulan berturut-turut tertahan di level 3,5 persen sejak 18 Februari 2021.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan kenaikan suku bunga acuan itu sebagai langkah awal untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi. Meningkatnya inflasi ini disebabkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food di saat gejolak harga energi dan pangan global terjadi.
Selain itu, kebijakan menaikkan suku bunga acuan juga ditujukan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya. Ini kata dia akibat masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin kuat di level sebelum adanya Pandemi Covid-19.
"Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi," kata Perry saat membacakan hasil rapat dewan gubernur BI pada Selasa lalu.
Kekhawatiran terhadap semakin tingginya angka inflasi atau naiknya harga-harga barang di Indonesia semakin menjadi-jadi setelah pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi, yaitu jenis pertalite dan solar. Kata Perry, kenaikan harga BBM non subsidi saja yang telah naik sebelumnya bisa mendongkrak angka inflasi sepanjang tahun ini menjadi 5,24 persen dengan inflasi inti sebesar 4,15 persen.
Padahal, BI menargetkan angka inflasi sepanjang 2022 hanya akan di level 2 - 4 persen atau yang biasa disebut Perry sebesar 3 plus minus 1 persen. Pada Januari 2022 angka realisasi inflasi pun sebetulnya hanya di level 2,18 persen, namun meningkat drastis sejak Maret 2022 di level 2,64 persen dan terus menanjak hingga di level 4,94 persen pada Juli 2022.
Kendati begitu, Perry menegaskan, BI tidak pernah merespons dampak langsung dari kebijakan rencana kenaikan BBM bersubsidi yang tengah dibahas pemerintah saat ini. Musababnya BBM masuk ke dalam golongan inflasi harga-harga yang diatur pemerintah. Tapi, kata dia, BI hanya merespons atau menghitung dampak rembetannya terhadap inflasi inti.
"Inflasi inti, inflasi fundamental, inflasi yang mencerminkan daya beli permintaan. Itu pertimbangan yang pertama kebijakan moneter Bank Indonesia," ujar Perry.
BI Rate Rem Pemulihan Ekonomi ?
Sejumlah ekonom menilai, kenaikan suku bunga acuan BI itu juga di dasari atas ekspektasi kenaikan harga BBM bersubsidi yang akan diputuskan dalam waktu dekat. Makanya, Perry memperkirakan realisasi angka inflasi inti bakal naik menjadi di level 4,15 persen dari yang realisasi hingga Juli 2022 sebesar 2,86 persen.