TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyatakan telah mengantisipasi tren melandainya harga komoditas pada tahun depan dalam postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 atau RAPBN 2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan bahwa harga komoditas global saat ini masih relatif tinggi dan volatile. Namun belakangan ada tendensi penurunan harga beberapa komoditas energi dan pangan seiring pelemahan prospek global.
Baca Juga:
“Oleh karena itu arsitektur RAPBN 2023 dirancang dengan optimis dan tetap waspada,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Selasa, 16 Agustus 2022.
Untuk mendorong produktivitas dalam transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kata Sri Mulyani, peran APBN dikuatkan di antaranya untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi global dan moderasi harga komoditas di tahun 2023.
Penerimaan pajak, misalnya, diharapkan melanjutkan tren positif sedangkan kepabeanan dan cukai diperkirakan tumbuh negatif karena dampak penurunan harga komoditas ekspor. “Penerimaan Negara Bukan Pajak tahun depan Rp 426,3 triliun atau turun 16,6 persen dari outlook juga terutama karena melandainya harga komoditas,” ujar Sri Mulyani.
Tak adanya lagi durian runtuh atau windfall komoditas itu pula yang di antaranya yang mendorong pemerintah tetap memberikan insentif perpajakan pada tahun 2023. Tak tanggung-tanggung, pemerintah menyiapkan anggaran Rp 41,5 triliun sebagai insentif perpajakan yang bakal dikucurkan seiring mulai pulihnya perekonomian. Akibat tren penurunan harga komoditas itu, tahun depan target penerimaan pajak dinaikkan dan untuk bea dan cukai diturunkan.
Sejumlah ekonom pun angkat bicara menanggapi dampak nihilnya windfall komoditas terhadap postur APBN. Mereka pada umumnya menilai pemerintah cenderung optimistis dalam menentukan asumsi makro ekonomi tahun depan.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira dan Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, misalnya, menilai bahwa sejumlah asumsi makro dalam RAPBN 2023 seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan harga minyak Indonesia (CPI) memperlihatkan bahwa proyeksi perekonomian nasional tahun depan membaik dibanding tahun ini.
Keduanya menggaribawahi tren penurunan harga komoditas yang bakal berlanjut pada tahun 2023 berimplikasi serius pada pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyoroti bahwa asumsi inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan sangat mempengaruhi proyeksi penerimaan pajak tahun depan.
Pertumbuhan Ekonomi
Bhima menilai asumsi pertumbuhan ekonomi pada 2023 yang dipatok di 5,3 persen cukup optimistis karena di saat yang sama perekonomian global diprediksi melemah. “Asumsi harga minyak mentah di 2023 juga masih di US$ 90 per barel, jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Artinya, komoditas diharapkan masih bisa menolong,” tuturnya.