Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai langkah pemerintah untuk mengembangkan sorgum sebagai substitusi impor gandum tidak realistis. "Belum bisa. Skala produksinya masih terlalu kecil," ujarnya.
Persoalan skala produksi ini, menurutnya, signifikan karena hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang bisa ditanami sorgum. Sementara itu di wilayah Indonesia lainnya, masyarakat lebih tertarik menanam beras karena faktor stabilisasi harga.
Selain masalah lahan, menurut Bhima, muncul persoalan lain. Jika pemerintah ingin membuat food estate sorgum, Bhima menuturkan seharusnya pemerintah memperbaiki terlebih dahulu food estate yang sudah ada sekarang di Sumatera dan Kalimantan. Sebab, banyak food estate yang belum baik dari segi on farm maupun off farm-nya, juga pada saat pengerjaan maupun saat pengolahan pascapanen.
Ia berharap pemerintah dapat memperbaiki dulu lumbung pangan atau food estate yang sudah ada sekarang, baru membahas soal komoditas lainnya. Sehingga anggaran untuk proyek tersebut tidak terbuang percuma. Apalagi jika pemerintah ingin menjawab krisis pangan, perlu dipikirkan jangka waktu proyek ini membuahkan hasil.
"Ternyata proyeknya masih 10-20 tahun lagi berhasilnya, padahal krisis pangannya terjadi sekarang," tuturnya.