Kemudian, Pasal 14 memberikan kewenangan bagi kementerian/lembaga, aparat penegak hukum, dan atau lembaga peradilan untuk melakukan pemutusan akses informasi elektronik maupun dokumen elektronik yang dilarang. Selanjutnya, pasal itu berbunyi pemutusan akses dapat dilakukan dengan mendesak apabila ada konten yang berkaitan dengan terorisme, pornografi anak, dan meresahkan masyarakat serta mengganggu ketertiban umum. Data yang bersifat meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum ini juga menimbulkan interpretasi yang luas—sama halnya dengan Pasal 9.
Selanjutnya, Pasal 36 memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE lingkup privat memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. SAFEnet menilai ini sangat rentan disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif, seperti isu perempuan, LGBTQ, masyarakat adat, dan Papua.
Menurut Nenden, aturan tersebut akan mendesak platform digital patuh pada ketentuan-ketentuan yang berpotensi melanggar hak-hak dan merugikan pengguna. Dia menyayangkan Kominfo yang membiarkan munculnya kekhawatiran publik terhadap ancaman demokrasi ini.
“Bukan sekadar didengar terus dibiarkan. Tentu kami ingin keresahan ini direspons. Pemerintah bisa membuka ruang dialog ini,” ucapnya. Nenden melanjutkan, lembaganya bakal mengkaji kemungkinan menggugat aturan PSE ke Mahkamah Agung. Namun, SAFEnet masih menunggu respons pemerintah dan melihat perkembangan terkini.
Sepandangan dengan SAFEnet, Cyber Security Consultant dan founder Ethical Hacker Indonesia, Teguh Apriyanto, pun melihat kalusa “konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” dalam beleid Kominfo tidak memiliki definisi atau ukuran yang jelas. “Artinya karet. Bisa digunakan sembarangan,” katanya.
Teguh yakin Kominfo masih akan membuka ruang dialog antara PSE dan pemerintah untuk menjawab kekhawatiran ini. Apalagi, pemblokiran PSE berpotensi mengganggu kepentingan pemerintah dan publik.