TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah. Mata uang garuda nyaris menyentuh level psikologis baru di posisi Rp 15 ribu pada perdagangan Selasa, 5 Juli 2022.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, melihat ada berbagai penyebab rupiah bergerak loyo. Dari sisi eksternal, rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed cenderung membuat investor kembali memburu mata uang dolar.
"Hal ini membuat permintaan dolar menguat. Akibatnya, nilai tukar rupiah jadi melemah," kata Nailul saat dihubungi pada Selasa, 5 Juli 2022.
Mata uang rupiah, seperti yang tertampil di aplikasi RTI, melemah bahkan menembus angka Rp 15.962 pada pukul 11.31 WIB, kemarin. Level itu menunjukkan ada penguatan dolar Amerika Serikat sebesar 40 poin atau 0,27 persen dari awal perdagangan hari ini. Rupiah pun sempat menyentuh Rp 15.922 hingga Rp 15.966.
Jika dilihat dari pergerakan sejak bulan lalu, hari ini dolar Amerika Serikat berada di level peningkatan paling tinggi terhadap rupiah. Pada awal Juni, rupiah berada di posisi Rp 14.454 terhadap dolar. Lalu pada pertengahan Juni, rupiah bertengger di posisi Rp 14.600-14.800. Dolar terus menguat sampai akhir Juni, bahkan awet hingga saat ini.
Aliran dana asing di Indonesia, kata Nailul, ramai-ramai terbang ke negara-negara maju dengan suku bunga acuan yang melonjak. Pada saat yang sama, investor masih menunggu The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. Walhasil dalam sepekan, saham domestik pun berdarah-darah.
Penyebab lainnya, Bank Indonesia masih menahan suku bunga acuannya. Pendorong inilah yang membuat pasar keuangan Indonesia kalah menarik.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjadi karena bayang-bayang sentimen negatif di pasar saham. Dia mencatat jual bersih dana asing menyentuh Rp 572 miliar di seluruh pasar pada penutupan perdagangan kemarin.
"Investor memang mencermati risiko kenaikan The Fed rate terhadap Indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi," kata Bhima.
Bhima menuturkan data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017 menjadi kekhawatiran bagi investor terhadap adanya risiko stagflasi. Apalagi, BI masih belum mengerek suku bunga. "Tentu risk-nya naik di market," ucapnya.
Pada saat yang sama, cadang devisa diperkirakan bakal makin tertekan. Sebab, arus modal keluar tinggi, sedangkan kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi.
"Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit," ujar Bhima.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, mengatakan pelemahan rupiah sudah diperkirakan seiring dengan semakin sempitnya spread suku bunga domestik dan suku bunga internasional. Keputusan BI menahan suku bunga acuan menghambat masuknya aliran modal asing atau malah mendorong modal asing keluar dari indonesia.
"Hal ini menjadi tekanan melemahkan rupiah," ujar Piter yang juga dihubungi hari ini.
Imbas Pelemahan Rupiah ke Perekonomian
Pelemahan nilai tukar rupiah ditengari bisa memicu kenaikan biaya impor. Beban utang luar negeri juga terancam meningkat.