Kualitas udara tidak sehat di Jakarta bukan yang pertama kali. IQ Air juga mencatat data kualitas udara Jakarta pada 2017 mengalami peningkatan dengan rata-rata mencapai 29,7 mikrogram per meter kubik (m3).
Kemudian pada 2018 berlipat ganda menjadi rata-rata 45,3 mikrogram per meter kubik dan pada 2019 kembali naik menjadi 49,4 mikrogram per meter kubik. Kualitas udara di Jakarta rata-rata pada 2020 kemudian menurun menjadi 39,6 mikrogram per meter kubik seiring pembatasan kegiatan masyarakat karena pandemi COVID-19.
Sumber polusi udara DKI dan solusi
Ricky Amukti, manajer di lembaga analisis kebijakan yang berfokus pada isu transisi menuju energi bersih terbarukan, Traction Energy Asia, membeberkan tiga sumber utama polusi udara di DKI Jakarta, yakni transportasi, pembangkit listrik, dan sampah. Menurutnya, sumber polusi udara yang terbesar berasal dari transportasi, angkanya 50 persen.
“Kemudian dari pembangkit listrik tenaga uap di Jawa Barat dan Banten 30 persen, dan sisanya berasal dari sampah,” ujar dia pada 7 Oktober tahun lalu.
Menurut Ricky, berdasarkan data, ada sekitar 16 juta unit sepeda motor, dan 3,6 juta unit mobil yang melintasi wilayah Jakarta, termasuk dari Banten dan Jawa Barat, ditambah lagi dengan transportasi umum. Kendaraan itu mengeluarkan emisi gas, dan membutuhkan banyak bahan bakar minyak, serta memunculkan polusi udara.
Ricky memberikan grand design yang bisa dilakukan pemerintah setempat. Dia mengusulkan bahan bakarnya bisa dipilih dengan lebih ramah lingkungan seperti bertenaga listrik. “Kendaraan listrik ini lebih ke rencana jangka panjang, atau menggunakan bahan bakar yang lebih variatif, tidak hanya mengambil dari fosil, minyak kelapa sawit, bisa diganti dengan tebu misalnya,” tutur Ricky.
Selain itu, kata dia, bisa memanfaatkan minyak jelantah yang bisa menjadi peluang untuk stok biodiesel. Jakarta memiliki kemungkinan 12 juta liter per tahun untuk minyak jelantah yang berasal dari limbah rumah tangga dan usaha mikro kecil (UMKM), belum dihitung yang berasal dari industri dan restoran. “Menurut kajian Royal Academy Engineering, emisi minyak jelantah lebih rendah sekitar 80-90 persen daripada yang digunakan sekarang,” katanya.
Sedangkan untuk listrik, Jakarta bisa menggunakan pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS Atap). Menurut Ricky, PLTS Atap sangat mungkin digunakan karena modular dan akan lebih aplikatif jika dimanfaatkan di Jakarta, karena bisa diterapkan di gedung-gedung tinggi. “Satu megawatt panel surya itu bisa mengurangi efek emisi rumah kaca sebanyak 1.226 CO per tahun,” ujar Ricky.
“Sebenarnya di Jakarta cukup hanya 20 persen saja PLTS Atap bisa mengurangi polusi udara.
Selanjutnya: Kritikan BEM UI