TEMPO.CO, Jakarta – Munculnya para spekulan yang menguasai tanah di kawasan bakal Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, berpotensi mengancam keberadaan masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melihat warga komunitas yang hidup menyebar di sekitar kawasan inti lahan ibu kota baru dan zona-zona tanah rampasan di sekitarnya rawan tergusur.
“Mereka terancam digeser para spekulan, para penumpang gelap. Dalam proses pembangunan, orang yang jadi spekulan adalah orang yang punya modal besar,” ujar Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Pengurus Besar AMAN Muhammad Arman saat dihubungi pada Rabu, 26 Januari 2022.
Aliansi menghitung, ada sekitar 20 ribu masyarakat adat yang berpotensi menjadi korban proyek pembangunan ibu kota. Masyarakat ini terbagi atas 19 kelompok di Penajam Paser Utara dan dua di Kutai Kartanegara.
Arman berujar, payung hukum pemindahan ibu kota yang diundangkan pada 18 Januari lalu tak bisa memberi jaminan terhadap hak atas tanah masyarakat adat. Undang-undang IKN yang disahkan setelah melewati 43 hari pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, tutur dia, nihil mengandung klausul perlindungan kelompok adat secara spesifik.
“Tidak ada pemulihan hak masyarakat adat kalau mereka terpaksa harus diambil tanahnya. Apalagi IKN ini adalah otorita, jadi peraturan Pemerintah Kalimantan Timur yang memiliki klausul perlindungan masyarakat adat tidak bisa (digunakan),” ujar Arman.
Pemerintah menetapkan luas daratan IKN 256,1 ribu hektare. Dari lahan tersebut, 199,9 ribu hektare akan menjadi kawasan pengembangan ibu kota, sedangkan 56,1 ribu sisanya dimanfaatkan sebagai cikal bakal kawasan IKN Nusantara.
Tak hanya mengancam masyarakat adat, pembangunan IKN dikhawatirkan bakal berdampak terhadap penduduk lokal. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memandang mobilisasi perpindahan dan penambahan penduduk di IKN berpotensi menggerus masyarakat sekitar.
Potensi konflik sosial