Di sisi lain, Irvan mengingatkan asuransi komersil berbeda dengan BPJS Kesehatan. Salah satunya dari perbedaan limit pertanggungan atau klaim. Untuk itu, Irvan menyebut kebijakan ini harus dibicarakan dengan baik dengan asosiasi.
Irvan sudah mendengar kasak kusuk soal adanya rencana layanan gabungan antara BPJS Kesehatan dan asuransi komersil sejak zaman Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia dipimpin Hendrisman Rahim, eks Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya. "Tapi saya belum tahu perkembangan terakhirnya," kata dia.
Tempo menghubungi AAJI yang juga disebut Muttaqien jadi salah satu pihak yang diajak duduk bersama terkait kebijakan kelas rawat inap ini. Tapi hingga berita ini diturunkan, Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon belum memberikan respons.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut DJSN memang diberi tugas untuk mengkaji konsep rawat inap kelas standar dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Antara lain ketersediaan jumlah tempat tidur pada setiap kelas perawatan di rumah sakit saat ini, pertumbuhan jumlah peserta BPJS, kemampuan fiskal negara dan kemampuan masyarakat dalam membayar iuran, serta angka rasio utilisasi JKN.
Menurut Timboel, kelas rawat inap yang disampaikan oleh DJSN adalah kelas rawat inap peserta BPJS berstatus Penerima Bantuan Iuran atau PBI yang isinya maksimal 6 tempat tidur dan non-PBI yang isinya maksimal 4 tempat tidur.
Timboel sangat mengharapkan kajian DJSN ini nantinya mampu menjawab persoalan ruang perawatan yang sering dialami peserta BPJS dan pelayanan di ruang perawatan. Sebab faktanya, kata Timboel, saat ini masih banyak peserta yang sulit mengakses ruang perawatan.
Menurut dia, masih ada RS yang mendahulukan pasien umum dibandingkan pasien BPJS. Sehingga, para pasien ini mengalami kesulitan untuk mengakses ruang perawatan. Demikian juga, kata dia, pasien BPJS yang mengalami masalah di ruang perawatan seperti harus pulang dalam kondisi belum layak pulang, disuruh beli obat sendiri, dan sebagainya.