Penyebab kedua, ujar Oke, khusus untuk Indonesia, kebanyakan entitas produsen minyak goreng dan CPO berbeda. Artinya produsen minyak goreng tergantung pada harga CPO. Karena itu, ketika harga minyak sawit mentah melonjak, harga minyak goreng curah dan kemasan sederhana ikut meningkat tajam.
Oke mengatakan saat ini pemerintah berupaya untuk memprioritaskan ketersediaan stok dan pasokan bahan baku di dalam negeri agar tidak tersedot permintaan global. Ia memastikan pemerintah bakal menjaga ketersediaan pasokan CPO sebanyak 628 ribu ton per bulan.
"Sebanyak 628 ribu ton itu cukup untuk pasok kebutuhan 1,5 bulan. Kita coba jaga ketersediaan minyak goreng di dalam negeri kita di 1,5 bulan terus, jadi kita aman untuk ketersediaan minyak goreng," ujar dia.
Selain itu, kata Oke, produsen minyak goreng yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) bekerja sama dengan pelaku usaha ritel modern mengalokasikan minyak goreng kemasan sederhana dengan harga Rp 14.000 menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru. Adapun volume alokasi minyak goreng murah itu mencapai 11 juta liter yang didistribusikan ke 45 ribu gerai retail modern secara nasional.
"Karena kesepakatan baru pekan lalu, prosesnya masih bertahap mulai tersedia dan kita sedang memonitor bahwa wilayah Jabodetabek sudah tersedia," ujar Oke. Ia mengatakan jumlah tersebut bisa saja bertambah dari perusahaan minyak goreng yang tidak tergabung dalam GIMNI atau pun AIMMI.
Kebijakan lainnya, adalah dengan melarang peredaran minyak goreng curah mulai 1 Januari 2022. Dengan demikian, minyak goreng yang beredar di Indonesia paling tidak adalah minyak goreng dengan kemasan sederhana. Menurut Oke, harga minyak goreng dalam kemasan relatif lebih terjaga ketimbang minyak goreng curah, lantaran bisa disimpan dalam jangka panjang.
"Kalau nantinya dengan minyak goreng harus dalam kemasan, harga akan lebih terkendali dan tidak harus selalu begitu ada kenaikan harga bahan baku langsung berdampak ke minyak goreng. Walau jangka panjangnya pasti berdampak, tapi tidak langsung," tutur Oke.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Ali Jamil mencatat stok minyak goreng yang dimiliki produsen anggota GIMNI per 18 November 2021 adalah sebesar 628.300 ton. Sementara itu, stok minyak goreng Perum BULOG sebesar 240,45 ton. Menurut Ali, pasokan ini bisa bertahan selama 1,49 bulan.
Kendati pasokan di pasar memadai, Ali berujar harga tetap naik karena harga bahan baku juga melonjak. "Selain itu, banyak produsen yang tidak terintegrasi dengan perkebunan sawit sehingga sangat mempengaruhi penentuan harga minyak goreng," ujar Ali.
Untuk menjaga pasokan tandan buah segar (TNS) sebagai bahan baku CPO, Kementan tengah mendorong peningkatan produktivitas sawit dengan
Peremajaan sawit rakyat (PSR) seluas 500 ribu hektare pada 2020-2022 di 21 provinsi, 106 kabupaten/kota sentra sawit. Selain itu, Kementan mendorong produsen benih menyediakan benih siap tanam di wilayah sentra peremajaan sawit, termasuk penambahan waralaba dan penangkar.
Untuk mengatasi harga minyak goreng yang tinggi, Ali berujar produsen yang memiliki lini industri kelapa sawit terintegrasi dari hulu sampai hilir didorong menyediakan CPO dengan harga khusus untuk diproduksi oleh industri minyak goreng dalam negeri menjadi minyak goreng kemasan sederhana. Hal itu sejalan dengan rencana implementasi kebijakan minyak goreng wajib kemasan yang akan diberlakukan tahun depan.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan penyaluran 11 juta liter minyak untuk kebutuhan November-Desember telah direncanakan sejak September lalu. Rinciannya, GIMNI dan AIMMI akan menyalurkan masing-masing 5,5 juta ton. Sebanyak 32 perusahaan yang tergabung dalam GIMNI, kata Sahat, sudah mulai mengedarkan minyaknya.
"Minyak ini sudah disebarkan melalui pasar modern di beberapa kota agar bisa dikontrol penyalurannya. Memang masih ada beberapa yang belum. Namun, kami sudah membuat surat kepada perusahaan agar penyalurannya bisa segera dilakukan," ujar Sahat.
Dia berujar kebutuhan minyak goreng di pasar adalah sebesar 2.151.000 ton pada 2020. Tahun ini, diperkirakan pasokan minyak goreng ada 2.214.000 ton atau sekitar 184,5 ribu ton per bulan. Angka tersebut setara dengan 212 ribu kiloliter per bulan.
"Kami sudah sudah komitmen agar pasar domestik terjamin pasokannya. Bila perlu, kami akan mengorbankan ekspornya. Namun, ketersediaan harga Rp 14.000 hanya tersedia di retail level menengah ke bawah," ujar Sahat.
Ke depannya, Sahat memperkirakan harga minyak sawit mentah masih akan merangkak naik. Harga komoditas yang saat ini di kisaran US$ 1.300 dolar per metrik ton itu diperkirakan akan melanjutkan kenaikan ke kisaran US$ 1.400 per metrik ton. Kenaikan harga produk sawit ini antara lain dipengaruhi gangguan pasokan minyak nabati akibat pembatasan mobilitas hingga gangguan cuaca.
CAESAR AKBAR | LARISSA HUDA
Baca juga: 11 Juta Liter Minyak Goreng Rp 14.000 Guyur Pasar Menjelang Natal dan Tahun Baru