Ia mengatakan kenaikan yang sangat rendah itu secara akal sehat pun tidak masuk akal. Apalagi kalau merujuk kepada Undang-undang Cipta Kerja yang menyebut daya beli dan kondisi pekerja harus menjadi dasar penentuan upah.
Namun demikian, ia menyarankan agar buruh tidak melakukan mogok kerja karena hanya akan merugikan bagi semua pihak. Tadjuddin mengatakan sebaiknya pemerintah menengahi kepentingan semua pihak dan membuka semua data secara terang benderang dengan kepala dingin. Dengan demikian, persoalan upah minimum tak terus menjadi perkara tahunan di Indonesia.
Dari sisi ekonomi, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyoroti rata-rata kenaikan upah minimum provinsi 2022 yang berada di bawah proyeksi inflasi nasional 2022. Inflasi sebelumnya diperkirakan berada di atas 3-4 persen.
"Ini efeknya berarti daya beli kelas menengah dan pekerja rentan bisa tergerus inflasi," ujar Bhima. Apabila itu terjadi, pemulihan daya beli dan konsumsi rumah tangga pun akan terhambat.
Upah minimum, kata Bhima, seharusnya naik di atas inflasi plus pertumbuhan ekonomi agar masyarakat memiliki uang lebih untuk dibelanjakan. Kalau itu dilakukan, pada ujungnya pun pengusaha akan diuntungkan.
"Kalau naiknya cuma 1 persen, konsumsi masyarakat akan terpengaruh. Apalagi tahun depan ada penyesuaian PPN naik dari 10 jadi 11 persen. Kebijakan perpajakan juga kan tidak mengakomodasi kepentingan pekerja," tutur Bhima.
Merespons berbagai kritik soal upah minimum itu, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Dapenas), Adi Mahfudz, mengatakan penetapan upah minimum itu sudah tepat sesuai dengan regulasi, yaitu Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021. Di samping itu, Dapenas telah menyarankan bahwa penetapan itu dilakukan dengan berbasiskan data statistik dari Badan Pusat Statistik.