Polisi, ujar Timer, semestinya memanfaatkan momentum ini untuk tampil sebagai elemen yang menopang demokrasi dengan secara tegas tidak memproses pengaduan tersebut. "Lagi pula data Greenpeace itu kan juga mengutip data deforestasi yang diterbitkan KLHK. Hanya yang berbeda dari Greenpeace dan KLHK adalah cara membaca data, bukan pada datanya sendiri," ujarnya.
Greenpeace sebelumnya membantah pernyataan Presiden Jokowi dalam KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia. Jokowi mengklaim deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir dan Indonesia telah melakukan rehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis pada 2010-2019.
Menurut Greenpeace, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari 2,45 juta hektare pada 2003-2011 menjadi 4,8 juta hektare pada 2011-2019. Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, membenarkan bahwa data mereka memang merujuk pada data KLHK. Bisa dikatakan ada perbedaan cara membaca data antara Greenpeace dan KLHK.
"Semua yang kami sampaikan ke publik menggunakan data valid yang akurat. Kami siap untuk melakukan debat terbuka dengan KLHK terkait bagaimana kami menganalisis data dalam koridor secara ilmiah dan intelektual," ujarnya.
Data Greenpeace diperkuat oleh Forest Watch Indonesia (FWI). "Meskipun angkanya kami tidak sama persis, tapi kami setuju dengan Greenpeace (bahwa deforestasi meningkat)," ujar Pengkampanye FWI, Agung Ady Setyawan saat dihubungi secara terpisah.
Data FWI menunjukkan luas hutan alam di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 Indonesia masih memiliki 106 juta hektare hutan alam. Jumlah tersebut berkurang menjadi 93 juta hektare pada 2009, 88 juta hektare pada 2013, dan 82 juta hektare pada 2017.
Hutan-hutan alam yang hilang dari tahun ke tahun tersebutlah yang dinamakan oleh FWI sebagai deforestasi. "Dari data di atas, dapat dilihat bahwa selama 17 tahun ke belakang (2000-2017) Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 23 juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Angka yang sangat jauh jika dibandingkan dengan klaim 3 juta hektare keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan kritis," ujar Agung.
Data yang dihimpun FWI dalam laporan-laporan KLHK sejak 2011-2020 juga memperlihatkan angka reforestasi di Indonesia baru mencapai 1 juta hektare. Angka ini merupakan penjumlahan dari reforestasi yang terjadi di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman.
Di dalam hutan tanaman juga termasuk di dalamnya penanaman untuk kebutuhan hutan tanaman industri dan reboisasi/penghijauan. "Itu pun dengan catatan bahwa angka 1 juta hektare tersebut belum bisa diuji oleh publik terkait validasi datanya," ujar Agung.
Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, mengatakan perbedaan data dan analisis seharusnya diselesaikan di ruang akademik, bukan di persidangan. "Publik harus disuguhi kebenaran fakta, oleh karenanya debat terhadap perbedaan data dan analisis menjadi penting. Bukan dengan laporan," ujarnya.