Melihat situasi yang dihadapi, Kementerian BUMN pun cenderung mengarahkan Garuda agar menyelesaikan masalahnya melalui pengadilan atau in-court. Pasalnya, jalur negosiasi atau out of court dinilai akan menempuh waktu lama dan berpotensi menimbulkan risiko tuntutan hukum di masa depan.
“Garuda ini butuh cepat. Kalau tidak cepat, dalam 3-6 bulan pesawat bisa di-grounded. Sekarang beberapa pesawat di-grounded karena ketidamampuan bayar,” ujar Kartika.
Restrukturisasi in-court memiliki berbagai dampak positif, antara lain putusannya mampu mengikat seluruh kreditur Garuda. Langkah ini juga akan memberikan perseroan kemampuan untuk mengakhiri atau melakukan negosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan. Kemudian, rencana perdamaian pun tidak perlu disetujui oleh seluruh kreditur.
Di sisi lain, opsi ini memiliki efek seperti kebutuhan biaya yang besar. Garuda juga menghadapi potensi risiko besar. Jika rencana perdamaian Garuda tidak disetujui oleh kreditur, akan ada kemungkinan pailit. “Jadi bukan pemerintah ingin memailitkan Garuda. Pemerintah ingin mencari solusi in-court tujuannya untuk homologasi,” kata Kartika.
Terkait rencana restrukturisasi dengan memangkas jumlah rute yang diterbangi maskapai dari 237 rute menjadi hanya 140 rute, manajemen Garuda Indonesia telah melakukan pemetaan. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan selama ini perseroan terdesak membuka rute yang tak membuat untung.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Irfan Setiaputra mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 21 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
"Ada banyak tekanan pembukaan rute. Jadi mohon dukungan apabila kami bilang enggak (akan membuka rute). Mohon maaf, banyak maaf,” ujar Irfan dalam rapat yang sama.
Irfan menjelaskan perusahaan menanggung kerugian akibat beroperasinya sejumlah maskapai di rute-rute yang tidak mendorong pendapatan. Pendapatan yang diperoleh maskapai dari rute-rute tertentu ini tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
Selain itu, maskapai harus menjalankan pesawat yang jenisnya tidak sesuai dengan karakteristik perusahaan sehingga semakin membebani ongkos produksi. Dua jenis pesawat yang dimaksud adalah Bombardier CRJ dan ATR.